Sudah beberapa kali kami melihat secara langsung penggunakan pukat tidak ramah di laut Aceh, baik pesisir utara-timur maupun pesisir barat-selatan. Saya bersama Dr Muhammad Adli Abdullah dan Dr Teuku Muttaqin Mansur, turun ke laut dan terlibat secara langsung bagaimana penggunaan mini trawl oleh nelayan lokal. Mereka sadar bahwa penggunaan pukat tersebut berdampak kepada lingkungan. Artinya mereka juga sadar, pelan tapi pasti, penggunakan mini trawl akan berimbas pada hasil laut mereka pada masa mendatang.
Sebagai peneliti, kami turun seperti layaknya nelayan. Dengan menumpang pada nelayan tertentu, kami berada di laut sebagaimana lamanya kerja nelayan. Hanya saja kegiatan kami tidak pernah berulang. Kami hanya menggunakan satu kesempatan untuk satu lokasi. Dari segi proses, hal ini bisa saja sebagai kelemahan dalam menemukan inti persoalan yang dihadapi nelayan kita.
Kami memiliki sedikit kelonggaran, karena pernah menggawangi Pusat Studi Hukum Adat Laut dan Kebijakan Perikanan Universitas Syiah Kuala, selama lima tahun. Ketika terlibat di dalamnya, sejumlah kajian dilakukan dalam rangka mengurai persoalan kebijakan terkait illegal fishing.
Maka sangat membahagiakan ketika mendapat orang-orang yang bekerja di lingkungan politik mau memasang badan bagi lahirnya kebijakan yang prolingkungan –dengan tidak mengabaikan kondisi nelayan. Salah satunya, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti (SP). Ia berharap presiden untuk tegas memberantas pelaku illegal fishing dan kebijakan yang merugikan nelayan (Serambi, 12/6/2020).
Setiap saya mendengar nama SP, ingatan saya selalu kepada penenggelaman kapal. Alat tangkap yang digunakan untuk mencuri ikan di laut kita, termasuk kapal-kapalnya, ditenggelamkan ke dasar laut. Kebijakan ini mendapat banyak protes, terutama mereka yang bekerja sebagai agen-agen yang mendapat hak karena melego harta laut negaranya. Namun pelan-pelan, negara-negara pemilik kapal, diam saat berhadap dengan isu pencurian. Awalnya penenggalaman pernah dilakukan atas dasar tertangkap tangan mencuri. Namun akhir-akhir, prosesnya melalui putusan pengadilan untuk memutuskan adanya pencurian ikan di laut kita.
Kini istilah “saya tenggelamkan” sudah jarang terdengar. Sepertinya orang-orang darat, yang melahirkan kebijakan maupun terobosan politik, harus selalu berusaha meluruskan urusan pukat laut.
Illegal Fishing
Apa yang pernah kami saksikan, pada dasarnya sebagai realitas illegal fishing yang sangat membahayakan. Ada realitas yang mulai bergeser tajam dan drastis, yakni illegal logging di darat yang sudah mencapai puncaknya, kini bergeser ke area laut. Hutan sudah bermasalah dimana-mana. Bahkan akhir tahun 2019, kajian HAKA menunjukkan kecenderungan hancurnya hutan secara massif di Aceh.
Namun demikian istilah illegal fishing sendiri sedikit lebih luas dari istilah illegal logging. Negara-negara perikanan menyepakati konteks illegal fishing pada tiga keadaan. Pertama, kegiatan menangkap ikan oleh kapal asing di wilayah yang bukan yurisdiksinya dengan tanpa izin. Kedua, kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan kapal dari negara tertentu, namun mengiperasionalkan kapal dengan bertentangan dengan tindakan konservasi dan pengelolaan yang ramah lingkungan. Ketiga, kegiatan penangkapan ikan yang bertentangan dengan perundang-undangan suatu negara atau ketentuan internasional.
Selain illegal fishing, terkait konteks IUU Fishing ada dua keadaan lain yang juga dilarang, yakni unreported fishing dan unregulated fishing. Konteks unreported fishing terkait dua keadaan. Pertama, kegiatan penangkapan ikan yang tidak dilaporkan atau dilaporkan secara salah kepada otoritas pemerintahan tertentu atau bertentangan dengan hukum. Kedua, kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan pada kawasan tertentu yang tidak dilaporkan atau dilaporkan pada otoritas yang salah.
Sedangkan unregulated fishing terkait dua keadaan. Pertama, kegiatran penangkapan ikan pada kawasan tertentu yang bertentangan dengan tindakan konservasi dan pengelolaan perikanan. Kedua, kegiatan penangkapan ikan atau jenis ikan tertentu atau di daerah perairan tertentu yang telah diatur melalui suatu tindakan konservasi atau pengelolaan oleh negara tertentu atau hukum internasional.
Orang-orang yang terlibat dalam pengambilan kebijakan, harus melihat usaha memosisikan sesuatu yang illegal fishing menjadi legal fishing. Hal ini bisa terjadi dengan memperdebatkan prosedur ketimbang substansi. Secara prosedur, yang dilihat apakah sesuatu itu diatur atau tidak. Sedangkan mereka yang berpikir substansi, apapun nama dan prosedurnya, jika yang digunakan merusak lingkungan, maka ia akan digolongkan dalam kategori illegal fishing.
Menuju Legal Fishing
Saya kira sejumlah hal digelisahkan SP, terutama dengan berbagai modifikasi alat tangkap yang dasarnya termasuk illegal fishing, seolah-olah menjadi legal fishing hanya gara-gara namanya tidak diatur dalam kebijakan. Kebijakan yang dimaksud SP adalah legasilasi alat-alat tangkap yang merusak lingkungan, seperti cantrang, pukat hela (trawl), dan pukat cincin (purseiners), serta kebijakan yang mengizinkan kapal ikan asing masuk ke wilayah Indonesia.
Sejumlat alat tangkap yang lima tahun lalu masih dilarang, kini sudah mulai dbuka. Sejumlah alat tangkap yang sekarang sudah sah digunakan, antara lain pukat cincin pelagit kecil dengan dua kapal, pukat cincin pelagit besar dengan dua kapal, payang, cantrang, pukat hela dasar udang, pancing berjoran, pancing cumi mekanis (squid jigging), dan huhate mekanis. Dalam konteks perikanan tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan juga sudah merevisi peraturan perikanan tangkap, yang kembali mengizinkan kapal-kapal ikan berukuran di atas 200 gross ton (GT) beroperasi dengan persentase skala usaha sebesar 22 persen (Serambi, 12/6/2020).
Sejumlah alat tangkap yang dilarang pada masa lalu, karena melihat substansi bahwa alat-alat tersebut tidak ramah lingkungan. Alat tangkap seperti pukat hela (trawl) dan pukat cincin (pursainers), misalnya, yang jaringnya ditarik oleh 2 kapal mampu menyedot isi laut berbagai ukuran ikan.
Kini alat tangkap yang bisa merusak lingkungan sudah termasuk dalam kategori alat yang sah dipakai, karena kebijakan sudah melegalkan. Saya jadi teringat saat berada di atas boat nelayan, menyaksikan bagaimana pukat-pukat nelayan lokal yang ditarik, menguras semua jenis dan ukuran ikan. Nelayan akan mengambil yang berukuran besar, sedangkan yang kecil dibuang dan mati. Namanya telah dikombinasikan sedemikian rupa, padahal substansinya sama, yakni merusak lingkungan.
Pelaku kebijakan bisa jadi berpikir bahwa melegalkan pukat tersebut terkait dengan usaha menaikkan pendapatan. Politik jika-maka sangat kentara. Jika mengizinkan ini, maka akan menghasilkan itu. Dan menutup mata rapat-rapat tentang dampak bagi masa depan.
Saya berharap mari berhitung-hitung tentang dampak yang sudah di depan mata ini. Di sini membutuhkan pelaku politik yang berpikir tentang masa depan isi laut, bukan bagaimana cara mengurasnya. Pelaku politik itu biasanya berada di darat. Dari tahun ke tahun, jarang ada orang laut yang berada dan berdebat tentang politik dan kebijakan di darat. Jadi nelayan menggantungkan apapun kebijakan dan politik laut mereka, melalui orang darat. Kita berharap, politik pukat dari orang-orang darat ini akan ramah bagi mereka yang berpendapatan dari isi laut.
https://aceh.tribunnews.com/2020/06/20/politik-pukat-dari-darat.