Hari ini, sudah hari ke-12, puasa. Saya belum ikut satu pun acara buka bersama. Sejumlah undangan, yang dilaksanakan pada tempat-tempat tertentu, saya mohon maaf tidak berhadir dan saya konfirmasi dari awal. Sejumlah tempat, yang saya tahu kondisi —terutama musallanya yang kecil— belum saya penuhi. Saya berharap tidak ada undangan buka lagi di tempat yang lokasi tempat shalat magrib sangat terbatas. Apalagi jamaah yang buka puasa jumlahnya tidak sedikit.
Dengan waktu yang sisa, undangan buka bersama saya pastikan tempatnya. Saya pribadi agak berat datang untuk buka bersama di tempat tertentu, sebelum saya pastikan bahwa tempat shalat magrib benar-benar tersedia secara layak. Berulang kali saya memiliki pengalaman tentang ini. Buka puasa, lalu saat mau shalat magrib, ternyata tempatnya tidak tersedia secara layak. Akhirnya harus mencari masjid atau meunasah terdekat.
Tahun yang lalu, ada yang kreatif. Mereka memilih tempat buka puasa bersama yang berdekatan dengan masjid atau meunasah. Dengan demikian, soal ini akan teratasi. Namun tetap menjadi catatan, bahwa tempat di sekitar masjid dan meunasah pun, tetap harus dikontrol agar tidak membuat keasyikan tersendiri di sana. Saat orang lain sedang beribadah, jangan sampai orang-orang yang menikmati makanan dan minuman di sana riang melebihi batas.
Sejauh ini, perjalanan puasa demikian maju. Orang-orang yang terbiasa dengan jaringan media sosial, akan memahami bagaimana perilaku orang-orang yang sedang beribadah zaman kini. Tidak sulit menemukan posisi orang, karena kebanyakan kita sendiri yang selalu memberitahukan posisi kita. Bahkan saat sedang apa dan dimana, kita sendiri yang tidak lagi memberi batas.
Seorang teman menyebut fenomena ini sebagai kehilangan ruang privat. Semua ruang, kamar, bilik, bahkan apapun, sudah menjadi milik publik. Pemiliknya yang membuat sesuatu itu milik publik. Bahkan untuk hal-hal yang tidak pantas sekalipun, orang-orang sudah tidak malu lagi menebarnya ke orang lain. Ada yang merendahkan diri mencari penonton medsosnya secara tidak pantas.
Termasuk dalam ibadah, kebanyakan kita juga sudah terbiasa dengan menebar wajah. Apa yang lebih mengerikan selain ibadah itu hanya dilakukan untuk memuaskan tampilan. Sehingga seseorang yang melakukan ibadah, mulai dari ibadah sunat hingga wajib, selalu mengirimnya ke media sosial. Mulai dari berdoa dan menengadah tangan hingga menugaskan orang yang merekam ketika kita sedang menunaikan shalat. Lalu mengirim ke berbagai grub media sosial. Orang-orang yang melihat akan menekan tanda suka, atau mengomentari secara luar biasa.
Ada yang berbeda antara ibadah yang tampak dengan yang tidak tampak. Salah satu yang saya maksud sebagai tidak tampak adalah orang yang berpuasa. Jika berdasarkan tampilan, kita tidak bisa membedakan orang berpuasa dengan mereka yang sudah berbuka. Orang yang tidak berpuasa, bisa berlagak seperti orang yang tidak makan sahur saat berpuasa. Ibadah ini juga bisa menghadirkan keramaian tersendiri.
Jadi yang namanya buka bareng menjadi tren banyak kalangan. Berbagai restoran, dengan berbagai variasi tawaran makanan, menjadi pilihan pengunjung. Tidak peduli apakah itu makanan lokal atau bukan makanan lokal. Tidak peduli juga siapa yang menjaja, orang lokal atau bukan orang lokal. Restoran dengan tawaran berbagai pilihan, baik corak, rasa, maupun komunitas yang menjadi sasaran. Remaja dan orang muda menjadi sasaran penting dalam agenda buka bareng ini. Untuk sasaran umur ini, sepertinya tidak butuh banyak tempat, selain tempat duduk berlama-lama di depan makanan.
Saya memiliki pengalaman tidak menarik, dan pengalaman ini membuat saya agak susah datang pada undangan yang diadakan di tempat yang fasilitasnya tidak memadai. Biasanya warung makan dengan tempat duduk yang ratusan kursi jumlahnya, dengan deretan meja panjang yang banyak, namun giliran tempat untuk shalat, hanya menyediakan ruang kecil saja –yang mungkin hanya muat beberapa orang saja. Bisa dibayangkan berapa lama orang akan menunggu pada lokasi yang demikian. Sekiranya semua shalat, maka butuh waktu minimal lima menit untuk satu orang, dikalikan tidak lebih dari 10 orang, maka butuh waktu paling tidak enam hingga delapan kali lipat. Artinya, orang yang antre baru bisa menunaikan kewajibannya empat puluh menit kemudian. Waktu yang berada pada posisi akhir.
Hal yang sama di rumah tertentu yang mengundang buka puasa bersama, harus mempertimbangkan kondisi ini. Paling tidak, menghitung sekiranya rumah jauh dari masjid atau meunasah (mushalla). Tanpa perhitungan ini, maka yang menjadi korban adalah mereka yang berbuka puasa bersama tersebut. Saya pernah berbuka puasa bersama di rumah makan ternama. Atas undangan seorang senior, kami lalu berbuka, namun betapa kagetnya ketika mau melaksanakan shalat, ternyata tempatnya tidak sebanding dengan jumlah pengunjung warung. Langkah yang kami ambil –beberapa orang waktu itu—adalah menggelar sajadah di pinggir rumah makan, di lapangan yang berumput. Setelah shalat, ketika melanjutkan makan, kami sempat menyarankan kepada pemilik warung tersebut untuk memperhatikan kondisi tersebut. Waktu itu, pemiliknya mengaku akan segera menindaklanjutinya. Beberapa kali saya melewati tempat tersebut, ternyata tempatnya masih sama seperti dulu, belum berubah.
Melihat buka puasa bersama yang dilalui dengan meninggalkan kewajiban lainnya, rasanya miris. Kenyataan ini tidak bisa dianggap remeh, karena sama-sama merupakan kewajiban. Orang yang bijak, akan menghadiri undangan buka puasa bersama, namun begitu selesai meneguk sedikit air akan memilih mencari tempat yang layak untuk menunaikan kewajiban lainnya. Dengan begitu, bisa menunaikan dua hal sekaligus, yakni menghadiri undangan, dan tidak terlambat menunaikan kewajiban shalat. Menyelaraskan keduanya pun butuh tata pikir. Kita harus senantiasa buat hitung-hitungan yang saya ungkap di atas. Hal yang paling prinsip dari hitung-hitungan ini, agar saat mengejar ibadah yang satu, bukan meninggalkan ibadah lainnya.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.