Ceramah malam ini agak panjang. Penceramahnya masih muda. Dari sekian banyak yang dibicarakan, hal penting adalah ajakan untuk terus-menerus berbuat baik. Tentu saja, beriringan dengan ibadah, baik wajib dan sunat. Jangan sampai gara-gara hanya berpegang pada ajaran berbuat baik, seolah-olah boleh meninggalkan ibadah. Rumus ideal adalah berbuat baik dan beribadah dengan baik. Apalagi dengan rumus taqwa, dalam makna melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangan.
Begitulah. Kadang-kadang dari untaian berbuat baik itu, kita tidak tahu dari jalan mana yang akan mengantarkan kita kepada kehidupan yang lebih baik —kehidupan yang diidam-idamkan semua orang pada akhir nanti.
Dengan demikian, berbuat baik itu juga tidak berbatas. Selain yang saya sebut di atas, ada juga balasan terhadap orang yang berbuat baik, yang tampaknya langsung di dunia. Tidak dibuat-buat. Tidak ada yang bisa dikondisikan. Perbuatan yang baik, sering tidak terduga bentuk balasan baiknya. Seperti orang yang sering membagi terhadap orang lain, akan mendapatkan balasan yang tidak terduga.
Atas dasar itulah, orang yang ingin berbuat baik hanya demi konten, harus hati-hati karena tidak akan mendapatkan apa-apa —malah sebaliknya. Orang-orang yang menggunakan agama sebagai kosmetik, misalnya, juga demikian. Seyogianya tidak dilakukan.
Bagi orang kampung, selain ibadah, juga berlaku rumus sosial yang lain. Mengunjungi orang lain, maka berkemungkinan besar orang lain itu akan mengunjungi kita. Ada yang kebalikannya, namun tidak banyak. Mereka yang tidak pernah mengunjungi orang lain, namun tetap dikunjungi. Banyak orang yang ternyata tidak begitu peduli. Orang-orang yang hanya menunaikan kewajiban sosialnya mengunjungi orang lain, dan tidak peduli apakah nanti akan dibalas kunjungan atau tidak. Istilah kewajiban sosial, karena di tempat tertentu seolah ada yang tidak lengkap apabila ada orang lain yang sakit dan semacamnya, jika tidak dikunjungi.
Dulu orang mengklaim bahwa fenomena demikian, hanya berlangsung di kampung-kampung. Apa yang saya rasakan sekarang. Ternyata orang-orang kota tidak kurang memiliki suasana yang demikian. Malah di kampung-kampung tertentu, sudah hidup layaknya tidak berkampung. Sebaliknya, kadang-kadang di kota, hidupnya sudah lebih berkampung (meugampong).
Suatu kali, sepulang dari kampung, ada yang sedang sakit dan menjenguk merupakan pilihan tepat. Tetangga, yang tiba-tiba harus dirawat karena penyakitnya kambuh. Ketika sampai di sana, banyak orang kampung yang sedang berkunjung. Orang yang sakit ini masih muda, jarang berkunjung ke orang lain. Masalah ternyata tak di sana. Siapapun orang kampung, berkemungkinan dikunjungi oleh orang lain. Orang yang jarang menjenguk orang lain, maka akan lebih sedikit orang yang menjenguknya. Demikian sebaliknya. Orang yang sering mengunjungi orang lain, maka ketika terjadi sesuatu terhadap diri atau anggota keluarganya, maka akan banyak yang menoleh.
Seperti kebiasaan orang kampung, setiap ada orang sakit, selalu ada keinginan untuk berkunjung, walau ia harus utang. Ini unik sekali. Banyak orang yang bersedia mengorbankan dirinya untuk meringankan penderitaan orang lain. Dengan berutang, sebenarnya mereka sedang menyusun derita lainnya. Dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan, plus harus mengutang, itu derita yang berganda. Akan tetapi tak masalah. Ada semangat bagus yang dimiliki, bahwa mereka yang sakit, tidak saja membutuhkan materi untuk membiayai pengobatannya, melainkan juga semangat jiwa. Ada sebagian orang yang sudah membayar asuransi kesehatan –suatu kalkulasi untung-rugi yang dilakukan oleh penguasa—membuat mereka tak harus menyediakan biaya besar. Untuk standar pengobatan, mereka sudah tersedia. Dalam kenyataan memang tidak selalu tersedia sebagaimana kelasnya. Seorang yang berhak di kelas tiga, bisa jadi ketika waktu tertentu, tidak ada fasilitas di kelas tiga, melainkan kelas yang di atasnya. Untuk kondisi ini, mereka juga harus membayar sisanya.
Barangkali untuk mereka yang menggunakan fasilitas asuransi untung-rugi itu, sudah merasa sedikit berkurang bebannya pada saat itu –sedang saat yang lain tetap harus membayar. Setidaknya, hal ini jika dibandingkan dengan masyarakat yang sama sekali tak menggunakan fasilitas ini. Di pihak lain, pengelola sering menghitung laba-rugi dengan rakyatnya, sehingga rakyat sendiri, diatasnamakan gotong royong tetap membayar sejumlah biasa untuk fasilitas tersebut. Bisa dibayangkan mereka yang tidak menggunakan jalur ini. Ketika mereka harus membayar sepenuhnya biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan tersebut.
Fungsi orang kampung tidak sepenuhnya menutup hal ini. Tak masalah. Bagi orang kampung yang penting bisa merasa sependeritaan dengan mereka yang sedang menderita. Mengunjungi jauh lebih penting, tak masalah bahwa apa yang mereka bawa itu hanya cukup untuk sedikit saja dari total biaya yang harus dikeluarkan. Ada semangat yang harus dilihat, yakni semangat berbagi. Dalam kondisi demikian, betapa dahsyatnya semangat berbagi itu. Dari mereka yang pas-pasan, saling membantu satu sama lain. Semangat yang berlipat dari kondisi ini adalah bangkitnya kekuatan untuk menerima derita sakit yang dialami.
Semangat ini menarik jika dipupuk. Ia bisa jadi kekuatan besar bangsa dalam membangun masyarakat secara paripurna. Secara totalitas. Kekuatan ini, sewaktu-waktu dapat menyelesaikan banyak persoalan yang seolah tiada putusanya terjadi di sekitar kita. Siapa yang akan mau menggunakan semangat ini untuk kekuatan membangun?
Jadi melakukan sesuatu, harus kita biasakan dengan ikhlas. Bukan karena ingin balasan. Soal orang akan membalas kebaikan orang lain, itu semua seyogianya bukan urusan kita yang melakukan sesuatu yang baik itu. Hanya perbuatan baik yang ikhlas yang akan mendapatkan ganjaran baiknya dengan sempurna.
Mari kita melakukan sebanyak mungkin perbuatan baik. Sesuatu yang baik mudah-mudahan akan diikuti oleh kebaikan lainnya. Secara beruntun dan sambung-menyambung tali kebaikan. Terhadap siapapun mari berbuat baik, dan mudah-mudahan akan mencapai akhir yang baik bagi semuanya.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.