Menegaskan Independensi Pengadilan

Dalam negara hukum, independensi pengadilan merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 24 UUD 1945 amandemen ketiga, bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan, guna menegakkan hukum dan keadilan. …

Dalam negara hukum, independensi pengadilan merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 24 UUD 1945 amandemen ketiga, bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan, guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman ini dilaksanakan oleh suatu Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara, dan sebuah Mahkamah Konstitusi.

Independensi peradilan diwakilkan melalui kekuasaan kehakiman. Dalam Perubahan UUD 1945 sendiri merumuskan secara lebih jelas tentang apa yang dimaksud sebagai kekuasaan kehakiman. Selain itu, dalam perubahan ini juga ditentukan siapa yang menjadi pelaku kekuasaan kehakiman itu. Kekuasaan yudisial tersebut perlu dijamin indenpendensi atau kebebasannya (Sumadi, 2016).

Kekuasaan kehakiman, yang mencerminkan kebebasan peradilan, merupakan prasyarat dari negara hukum. Merujuk pada Ahmad Fadlil Sumadi, pada setiap negara, konsep rule of law secara tersirat maupun tersurat terdapat pasa konstitusi setiap negara. Setidaknya ada dua aspek dari konsep ini, yakni: Pertama, hukum harus dapat mengatur masyarakat dan masyarakat taat pada hukum. Kedua, hukum harus memiliki kapasitas untuk dapat dipatuhi (good laws). Kedua aspek tersebut yang membedakan rule of law dan rule by law –bilamana pengaturan itu dilakukan hukum, namun hukum menciptakan ekses negatif dari masyarakat (bad laws). Berdasarkan Jimly Asshiddiqie disebutkan, independensi peradilan mutlak dibutuhkan sebagai prasyarat untuk menegakan rule of law. Dan peradilan bebas yang tidak memihak mutlak harus ada dalam setiap negara hukum (Sumadi, 2016; Asshiddiqie, 2005). Tidak semua negara di dunia yang memilih sebagai negara hukum. Salah satunya adalah negara Indonesia, yang penegasan negara hukumnya juga dalam UUD 1945 setelah amandemen.

Kekuasaan kehakiman ini sendiri bukan tanpa tantangan. Dalam The 6th Indonesian Constitutional Court International Symposium (ICCIS) yang dilaksanakan oleh Mahkamah Konsitusi pada 10 Agustus 2023, mendiskusikan tentang berbagai tantangan tersebut. Forum ini mengangkat Constitutional Court and Judicial Independence: A Comparative Perspective, diisi oleh para peneliti, akademisi, dan praktisi dari berbagai perwakilan negara.

Salah satu yang didiskusikan dan mengemuka terkait dengan tantangan independensi peradilan adalah pada campur tangan politik yang sangat dominan. Proses pembentukan dan perubahan suatu undang-undang, terutama terkait dengan kedudukan peradilan yang bebas dan merdeka, rentan dan intervensi politik. Belum lagi untuk mengisi keanggotaan, kadang-kadang juga yang dipilih para calon yang sesungguhnya bekas anggota partai politik.

Problem lain seperti yang pernah terjadi pada era Orde Baru, yang dalam Pasal 24 dan Pasal 25 menegaskan peradilan merdeka, namun dalam praktis administrasi dan anggaran, dikontrol oleh eksekutif. Dalam era sekarang, soal anggaran dan keuangan peradilan adalah dua hal serius terkait bagaimana tekanan lembaga eksekutif dan legislatif bagi peradilan yang merdeka.

Dengan penegasan konstitusi, peradilan yang merdeka sesungguhnya ingin mewujudkan benteng yang kokoh dalam hal juga menjaga nilai-nilai konstitusi. Tujuan besarnya adalah prinsip negara hukum yang salah satunya diwujudkan dengan adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka (Enggarani, 2018). Pencapaian tujuan ini sangat penting karena menyangkut hal yang mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bukan perkara biasa ketika ada kekuasaan yang mencoba menganggu kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka itu, sebagaimana sudah ditegaskan dalam UUD 1945.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment