Proses Hukum yang Adil

Dalam satu artikelnya, Profesor Abdul Latif, guru besar hukum tata negara pada Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia, mengingatkan saya satu hal penting. Keliru kalau “proses hukum yang adil” hanya diartikan sebagai hanya penerapan secara harfiah …

Dalam satu artikelnya, Profesor Abdul Latif, guru besar hukum tata negara pada Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia, mengingatkan saya satu hal penting. Keliru kalau “proses hukum yang adil” hanya diartikan sebagai hanya penerapan secara harfiah hukum secara pidana yang berlaku. Proses ini antara lain dilakukan oleh penegak hukum (polisi dan jaksa) dan pengadilan (hakim). Makna yang seharusnya dipergunakan adalah sikap batin penghormatan terhadap hak-hak yang dipunyai warga negara, meskipun ia adalah pelaku kejahatan (Latif, 2016).

Proses hukum yang adil (due process of law) pada dasarnya sebagai cermin dari pelaksanaan cita-cita atau ideologi negara hukum yang beradab. Secara sederhana, “proses hukum yang adil” diversuskan dengan “proses hukum yang sewenang-wenang” (arbitrary process). Proses hukum yang sewenang-wenang ini dilaksanakan semata-mata berdasarkan kekuasaan penegak hukum (Latif, 2016; Kusumohamidjojo, 2004). Wujud dari kesewenangan yang lebih besar, apabila aparat penegak hukum dapat dipengaruhi oleh pemerintah. Pengaruh ini yang akan membuat terjadinya kesewenang-wenangan di mana proses penegakan hukum dan keadilan merupakan “sandiwara” untuk melaksanakan ketidakadilan (Latif, 2016; Reksodiputro, 2000).

Dalam karyanya, “Hak Asasi manusia dalam Sistem Peradilan Pidana”, Mardjono Reksodiputro menyebutkan paling tidak ada lima inti dari proses hukum yang adil. Pertama, tersangka (maupun terdakwa) berhak untuk didengar pandangannya tentang bagaimana peristiwa yang dituduhkan padanya itu terjadi (hearing). Kedua, dalam pemeriksaan (sejak pertama kali di kepolisian), ia selalu berhak didampingi oleh penasihat hukum (legal counsel). Ketiga, terdakwa berhak mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk menyusun dan mengajukan pembelaannya (defense). Keempat, adalah kewajiban penuntut umum untuk membuktikan kesalahan terdakwa dengan bukti-bukti yang sah menurut hukum (legal evidence). Kelima, pengadilan yang memeriksanya haruslah bebas dari tekanan siapa pun dan dengan hakim yang tidak berpihak (a fair and impartial court) (Julaiddin, 2019).

Pemikiran Profesor Mardjono Reksodiputro (13 Maret 1937 – 21 Mei 2021), tentu tidak lepas dari interaksi pengetahuan dan pengalamannya sebagai seorang hukum penting di Indonesia. Pada tahun 1984 hingga 1990, ia memimpin sebagai dekan Fakultas Hukum Indonesia. Selain sebagai pengajar, profesor juga berpengalaman sebagai pengacara dan mendirikan firma hukum Ali Budiardjo, Nugroho, dan Reksodiputro. Sebagai ahli pun, Reksodiputro sangat berpengaruh. Tahun 1981-1993, ia terlibat sebagai penyusun KUHP. Selama 14 tahun (2000-2014) duduk di Komisi Hukum Nasional dan sebagai pendiri Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Indonesia Jentera.

Konseptual proses hukum yang adil menjadi sangat penting, sehingga prasyarat dari negara hukum, harus dilakukan dan dipastikan oleh negara-negara yang memaklumatkan diri sebagai negara hukum –termasuk negara hukum Indonesia. Dengan demikian, proses hukum yang adil bukan proses yang alternatif. Proses ini harus menjadi bagian dan semangat dalam berhukum di negara ini.

Merujuk pada artikel Julaiddin, “Akses Mendapatkan Keadilan (Access to Justice) dalam Konstitusi Indonesia”, teoritik tentang sistem pidana selalu diingatkan adanya asas “praduga tidak bersalah” (presumption of innocence), yang harus menjadi benang merah dalam merajut seluruh proses hukum yang adil ini. Yang dimaksud “bersalah” adalah dalam arti hukum (dengan putusan pengadilan) dan bukan “salah sebagai fakta” (misalnya orang gila membunuh bersalah menurut fakta, tetapi tidak bersalah menurut hukum. Pada posisi lain, juga tidak ada seorang pun yang boleh kebal terhadap hukum (nobody is impune) dalam negara yang menjunjung tinggi supremasi hukum (rule of law). Semua proses inilah yang dalam konstitusi sudah ditegaskan dengan baik (Julaiddin, 2019).

Proses ini pula yang nantinya terkait dengan perwujudkan asas hukum yang lain, lain kesamaan semua orang di depan hukum dengan tidak membeda-bedakan. Asas equality before the law, harus dioperasionalkan dengan baik di negara-negara hukum yang beradab dan berkadilan.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment