Mentalitas

Usia sering tidak menjadi ukuran seseorang sudah mencapai kedewasaan. Ada orang yang sudah tua, namun berperilaku dan berpikir seperti anak-anak. Orang yang dari segi usia sudah dewasa, namun ternyata mentalitas tidak sebanding, dan masih jauh …

Usia sering tidak menjadi ukuran seseorang sudah mencapai kedewasaan. Ada orang yang sudah tua, namun berperilaku dan berpikir seperti anak-anak. Orang yang dari segi usia sudah dewasa, namun ternyata mentalitas tidak sebanding, dan masih jauh dari kematangan jiwa.

Kemantapan psikologis ini bisa terlihat dari bagaimana seseorang bertingkah laku. Kata-kata yang digunakan dalam omongan juga bisa jadi alat ukur bagaimana kedewasaan seseorang. Jadi usia tidak bisa menjadi ukuran pasti.

Ada juga anak, yang disebabkan seringnya bergaul dengan orang dewasa, membuatnya tampak lebih dewasa dari umurnya. Jika ada yang demikian, rasanya juga bukan sesuatu yang aneh. Ketika melihat pola pergaulan yang matang, ada anak-anak yang memiliki kemampuan untuk ikut dengan pola perilaku demikian.

Kemenakan saya, yang sudah sekolah di sebuah sekolah dasar (SD), pernah bertanya begini. “Abua, mengapa sekarang ini makin banyak orang-orang menonton film anak-anak?” Pertanyaan itu muncul ketika di televisi muncul sinetron-sinetron yang menggunakan tokoh-tokoh tidak realistis seperti kadal besar, harimau, buaya, ular, naga, yang berubah-ubah wujud dengan manusia.

Sebelum saya jawab pertanyaan itu, ia tanya pertanyaan lain lagi. “Kalau memang itu film untuk anak-anak, mengapa orang tua juga pada nonton semua?”

Rupanya, diam-diam ia melihat film-film begitu yang juga digandrungi orang dewasa. Dalam pikiran dia, mungkin apa yang dilihat ini sebagai sesuatu yang tidak logis. Cerita yang menggunakan tokoh-tokoh mirip kartun, seharusnya hanya cocok ditonton anak-anak. Bukan orang dewasa.

Masalahnya ternyata tidak sederhana. Tayangan berpotensi membentuk rasa suka seseorang. Ketika sebuah sinetron ditayang berulang-ulang, akan ada tempat di hati orang-orang. Tingkat penontonnya akan tinggi.

Pada taraf ini, hampir tidak bisa dibedakan antara tontonan dengan tuntunan. Tontonan dari kata tonton. Tuntunan dari kata tuntun. Tonton, dan menonton, kata lain dari melihat –dalam hal ini pertunjukan dan gambar hidup. Tontonan lahir dari kata tonton tersebut. Tontonan bermaksud sebagai pertunjukan, atau sebagai sesuatu yang ditonton. Sementara tuntun, berjalan dengan memegang tangan atau menggandeng tangan orang lain –untuk menuntun. Tuntun juga bisa bermaksud sebagai pedoman untuk melakukan sesuatu. Dari kata ini, bisa jadi kata tuntunan, yang berarti bimbingan, petunjuk, atau pedoman.

Dengan demikian jelas bahwa terdapat perbedaan antara tontonan dan tuntunan. Seharusnya itu tidak bisa dibolak-balik. Tontonan tidak bisa dijadikan tuntutan. Demikian juga sebaliknya. Tuntunan seharusnya bukan sebagai tontonan.

Kenyataannya tidak begitu. Dengan dipengaruhi berbagai sebab, tontonan sudah menjadi tuntunan, tuntutan hanya menjadi tontonan. Apa yang dilihat dalam sinetron sudah menjadi bagian dari kehidupan. Konon lagi sinetron tiada henti di semua televisi, mulai pagi, hingga pagi kembali. Dengan tontonan yang demikian, wajar bahwa hal-hal yang seharusnya hanya untuk ditonton, ternyata menjadi tuntutan.

Kita juga menyaksikan betapa banyak hal-hal penting, yang ditayangkan, dan seharusnya menjadi tuntutan, ternyata hanya menjadi tontonan. Hal-hal yang baik, terbiarkan lewat begitu saja. Untuk ajaran-ajaran kehidupan yang seharusnya bisa mempermudah hidup, ternyata hanya sebagai tontonan saja. Tidak lebih.

Kemenakan saya tidak mengerti tontonan jadi tuntunan atau sebaliknya. Pikiran dia sangat sederhana, melihat ada yang menyaksikan sesuatu, berarti suka. Tidak melihat, berarti tidak suka. Walau yang dilihat tidak semua masuk akal.

Sampai sekarang, pertanyaan kemenakan saya itu yang ditanyakan pada saat itu, belum saya jawab hingga sekarang secara serius. Bahkan malam itu, ketika saya masih bertanya-tanya tentang pertanyaannya, ia sudah tertidur pulas.

Leave a Comment