Manusia

Pelajaran sejak di bangku sekolah, mengajarkan bahwa manusia adalah hewan yang berakal. Manusia sebagai hewan, banyak ditolak. Ada yang beranggapan, manusia memang sudah diciptakan dalam bentuk manusia, bukan karena sejarah dan proses evolusi yang panjang. …

Pelajaran sejak di bangku sekolah, mengajarkan bahwa manusia adalah hewan yang berakal. Manusia sebagai hewan, banyak ditolak. Ada yang beranggapan, manusia memang sudah diciptakan dalam bentuk manusia, bukan karena sejarah dan proses evolusi yang panjang.

Ada satu mata pelajaran yang berisi proses evolusi ini. Manusia berkembang dari berbagai tahap perkembangannya. Awalnya manusia berjalan merangkak, lalu dalam masa tertentu, hingga bisa berjalan tegak. Secara biologis, diyakini sebagian ilmuwan bahwa manusia berevoluasi dari makhluk yang bukan manusia.

Bersandar pada konsep di atas, hewan yang berakal membedakan manusia dari yang bukan manusia –walau diyakini manusia berasal dari makhluk bukan manusia. Penekanan akal menegaskan perbedaan besar manusia dengan makhluk bukan manusia tersebut.

Apa yang diyakini ini, ditolak sebagian kalangan. Manusia dipandang tetap dari makhluk manusia, bukan dari proses evolusi. Orang dan manusia tetap sebagai wujud proses penciptaan yang sempurna dari awal.

Seperti kebanyakan yang lain, saya kurang begitu peduli dengan pertanyaan, mengenai, apa beda orang dan manusia. Bagi saya sama saja. Orang, ya manusia. Manusia, ya orang.

Ketika tiba-tiba ada pertanyaan yang menekan, kondisi menjadi lain. Tekanan itu yang menyebabkan saya harus membuka kamus. Di dalamnya, saya belajar banyak istilah. Orang adalah manusia dalam arti khusus. Kata orang juga sebagai manusia (ganti diri ketiga yang tidak tentu). Orang disepadankan dengan dirinya sendiri, manusianya sendiri. Orang sebagai kata penggolong untuk manusia.

Istilah orang, ketika ada imbuhan, menjadi berbeda maksudnya. Seorang berarti satu orang; sendiri. Bila perorangan adalah perihal orang seorang, maka perseorangan adalah yang berkaitan dengan orang secara pribadi.

Berorang-orang, maksudnya berlaku seperti orang lain. Mengorangkan, menganggap atau menghargai sebagai orang. Orang-orangan, adalah tiruan orang; boneka; patung.

Sedangkan kata manusia, makhluk yang berakal budi (mampu menguasa makhluk lain. Manusia juga disepadankan dengan insan dan orang. Dengan imbuhan, memanusiakan maksudnya menjadikan (menganggap, memperlakukan) sebagai manusia. Pemanusiaan adalah proses, cara. Perbuatan menjadikan manusia agar memiliki rasa kemanusiaan (sifat-sifat manusia; secara manusia; sebagai manusia).

Dengan penjelasan itu, apa yang diharapkan oleh seseorang? Di satu sisi, lumrah sekali, apabila seseorang, atau sekelompok orang, menginginkan datangnya tamu tertentu ke rumahnya. Baik saat hajatan tertentu maupun di luar waktu hajatan. Di sisi lain, timbul pertanyaan, yang diinginkan seseorang atau sekelompok orang, apakah orang atau manusia?

Saya tidak ingin menjawab pertanyaan usil terakhir itu. Hanya saja, saya ingin memberikan catatan tentang pentingnya menyadari hitam-putih orang dan manusia dalam hidupnya. Sepanjang tahun pembicaraan untuk memanusiakan orang terus dilakukan, beriringan dengan fenomena membuat orang seperti orang-orangan di seantero dunia. Ban sigom donya. Tentu, dengan wujud dan bentuk yang berbeda-beda.

Mengapa respons yang diberikan juga berbeda-beda? Itu pertanyaan yang lain lagi. Di tempat tertentu, seorang saja tersesat, sibuk dunia. Sibok donya. Di tempat tidak tertentu, ada yang berkampung tergadaikan jiwa-raganya, dibiarkan berwaktu.

Jadi seandainya terpaksa pertanyaan itu dijawab, bercermin pada realitas adalah langkah terbaik. Realitas keseharian adalah wajah kita yang paling dekat. Lantas apa yang paling dekat itu? Salah satu jawabannya adalah semakin menyebarnya kepalsuan. Semakin sulit membedakan yang aslinya dengan yang bukan aslinya.

Ketika ada tamu yang datang, tidak penting asli atau tidak. Pertanyaan yang lebih menarik justru: menarik perhatian atau tidak? Untuk mendapatkan perhatian itu, tidak masalah hilang bergantang-gantang harga.

Ada yang bisa dikilah: dunia memang sedang zaman begitu. Kita bisa tersenyum lebar, walau bukan dengan terpaksa. Tetapi senyum lepas, tetap wakil dari wajah. Coba.

Leave a Comment