Tahun ini, kembali berbeda awal Puasa, hingga nanti 1 Syawal. Muhammadiyah telah mengumumkan Puasa dimulai 11 Maret. Pemerintah, yang terutama di dalamnya didominasi NU, mengumumkan 12 Maret, besok.
Bulan ini, sebagai bulan yang penuh rahmat, kian ditunggu. Tamu agung yang lebih sempurna dibandingkan 11 bulan hijriah lainnya. Semua bulan penting, dan sepanjang waktu perkembangan kehidupan manusia, memiliki momentumnya masing-masing, namun Ramadhan menempati momentum paling penting bagi kehidupan manusia.
Bulan ini disambut dengan tangisan kebahagiaan, namun juga digelisahkan sebagian manusia. Orang-orang yang bahagia, sudah mempersiapkan diri jauh-jauh hari. Orang-orang yang bahagia akan menyambut bulan ini secara bersahaja.
Marilah kita bayangkanlah seperti orang menaruh bunga yang menerbangkan semerbak di ruang tengah rumahnya. Ia berharap bulan ini mampu dia kuatkan semangat dan aktivitas sewangi bunga yang ditaruh itu.
Orang-orang seperti itu, merasa persiapannya jauh berkekurangan bila dibandingkan dengan kenikmatan yang diperoleh sesudahnya. Ketahuilah, mempersiapkan diri secara sempurna, bahkan ketika seseorang sudah merasa tidak dapat menahan rindu berhari dan berbulan sebelumnya.
Menunggu ia tiba.
Sedangkan orang-orang yang gelisah, menunggu bulan ini dengan sia-sia. Selalu merasa takut tidak bisa berbuat apa-apa. Orang-orang yang gelisah, jangan pernah gundah, karena masih ada waktu untuk segera berbalik rasa. Jangan menunggu ketika nanti menjelang apa-apa, kita sudah masuk ke dalamnya, sementara batin kita belum merasakan apa-apa. Ketika pada taraf itu, satu pertanyaan penting yang harus teresap mendalam di benak kita, bahwa masukkah kita pada golongan orang-orang yang dipanggil itu?
Harus kita ingat bahwa tidak semua manusia merasa dipanggil. Berdukalah ketika kita merasa terhalang masuk ke dalamnya. Akan tetapi, sekali lagi, masih ada waktu untuk mem-persiapkan.
Ketika dipanggil, orang-orang juga memiliki pengecualian. Kondisi khusus yang menyebabkan orang tidak mampu melakukan puasa, tetap ada rumusnya. Lalu apanya yang masih kita anggap berat?
Ada satu hal penting yang menjadi hikmah di balik puasa, yakni pada keseyogiaan orang untuk merasakan apa yang dirasakan orang yang sedang terpaksa dalam lapar. Akan tetapi dunia bukankah selalu menghadirkan pembaruan? Ketika orang yang menahan lapar 12 hingga 16 jam, dengan dibantu pola konsumsi yang baik, mungkin jauh terasa ringan, dibandingkan dengan mereka yang jangankan untuk mengatur pola konsumsi, kebutuhan untuk konsumsi saja tidak ada. Semangatnya tetap merasakan sehati dengan orang lapar, walau dengan pola konsumsi, banyak orang yang tidak merasa apa-apa sepanjang 12 hingga 16 jam tersebut.
Terlepas bagaimana terasa sesungguhnya, tetapi ini soal keseyogiaan merasa, agar orang pandai merasa kondisi orang miskin, bukan merasa pandai. Orang yang pandai merasa, akan memahami betapa orang miskin itu tidak sepatutnya dijadikan alat, sebagaimana dipermainkan oleh orang-orang yang merasa pandai. Orang pandai merasa, tahu bahwa lapar tak saja soal ketiadaan makanan, namun juga keberpihakan.
Puasa harusnya akan mengajarkan kita selalu berefleksi, bahwa keberadaan orang miskin tak semata karena kemampuan dirinya, melainkan turut ditentukan oleh orang-orang yang disekelilingnya.
Orang pandai merasa tahu, bahwa lapar itu, jika banyak orang ikhlas menyelesaikannya, maka tidak butuh waktu lama ia akan tuntas. Kenyataannya tidak. Orang-orang yang merasa pandai, hanya menjadikan orang lapar bagi pencapaian sesuatu yang lebih besar. Mereka yang lapar tetap sebagai atas nama yang dibawa kemana-mana. Mereka ditaruh dalam amplop, dijilid rapi, lalu disorong ke sana ke mari.
Untuk masuk ke dalamnya, kita memang harus banyak berbenah untuk merasakan lahir dan batin orang lapar secara sesungguhnya.