Momentum Keampunan

Bulan Puasa yang penuh rahmat, dapat menjadi momentum bagi kita untuk melakukan refleksi, instrospeksi, bahkan potensi perbaikan dalam kehidupan. Makanya setelah menyambut bulan ini dengan suka cita, lalu apa? Apakah kita akan membiarkannya berlalu begitu …

Bulan Puasa yang penuh rahmat, dapat menjadi momentum bagi kita untuk melakukan refleksi, instrospeksi, bahkan potensi perbaikan dalam kehidupan. Makanya setelah menyambut bulan ini dengan suka cita, lalu apa? Apakah kita akan membiarkannya berlalu begitu saja? Atau kita akan memanfaatkan momentum ini secara bersahaja –dengan berbagai bentuknya. Melaksanakan yang perintah, meninggalkan yang larangan, adalah kunci dari semua itu.

Momentum yang semacam ini harus dimanfaatkan secara maksimal. Pertanyaan dengan kata apa, mengapa, bagaimana, selalu harus muncul dan semua itu membutuhkan jawaban masing-masing yang berbeda.

Pertanyaan dengan menggunakan kata-kata itu, baik mereka yang menanyakan maupun orang yang ditanya, akan memahami seperti apa jawaban yang dibutuhkan. Sadar atau tidak, mereka yang memberi jawaban akan mengungkap secara lebih dalam.

Suatu pertanyaan yang ingin menjawab sebatas apa, maka potretnya sebatas apa yang dilihat. Mengapa, sudah ada rasionalisasi alasan mendalam. Sesuatu yang dilakukan, tidak sebatas mengambarkan apa sesuatu itu, melainkan sudah menjangkau lebih jauh, mengapa sesuatu itu dilakukan. Jadi apapun ketika ditanya dengan kata mengapa, selalu membutuhkan jawaban lebih mendalam dibandingkan dengan kata apa.

Atas dasar itulah, tentu sangat berat menjawab mengapa seseorang itu harus bahagia terhadap sesuatu yang kita tunggu. Momentum tertentu yang ditunggu dengan senang dan bahagia, maka proses menunggunya juga akan berbeda. Menanti seseorang akan hadir di rumah kita secara khusus, maka orang yang menunggu itu akan memiliki sesuatu yang sulit dibahasakan. Bisa dibayangkan sesuatu yang ditunggu itu diganjar dengan sesuatu yang sungguh luar biasa.

Begitulah adanya. Sebelum datangnya Puasa, ada garansi bahwa orang yang bahagia karena kedatangannya akan jauh dari api neraka. Berbahagia saja, sudah begitu jatahnya. Konon lagi ketika benar-benar tiba waktunya, setiap orang akan menyambutnya dengan mengisi setiap detik dengan ibadah. Ruang waktu inilah kita bisa melakukan berbagai ragam aktivitas yang bernilai ibadah di bulan ini.

Orang yang dari segi kesehatan membutuhkan istirahat organ tubuhnya, maka bulan ini juga sangat tepat waktunya. Dengan puasa yang benar, akan berimplikasi kepada kesehatan masing-masing kita. Banyak orang di dunia yang sudah menggeluti puasa sebagai jalan keluar untuk mengontrol diri dari berbagai gangguan kesehatan. Ada satu panduan makan dalam agama yang sering kita dengar, bahwa berhenti makan itu tidak mesti setelah kenyang –kita harus belajar untuk berhenti makan sebelum kenyang, dan memulai makan sebelum lapar. Ternyata antara lapar dan kenyang pun, ketika dikontrol oleh yang melakukannya (manusia), maka ia sesuatu yang terkendali. Implikasinya tentu saja bagi kondisi tubuh.

Untuk tidak terlalu jauh, kembali ke soal mengapa, alasan di atas sudah bisa menjawab sekilas. Tentu ada banyak alasan lain yang mendalam, yang secara fisik bisa ditandai dengan pola-pola biasa. Di tempat tertentu, seperti tempat kita, misalnya, sehari sebelum puasa, ada tradisi makan daging –maksudnya makan nasi dengan lauk daging yang disediakan secara khusus. Dalam masyarakat kita, tidak banyak momentum orang memakan daging. Hanya sejumlah momentum saja yang memungkinkan makan daging secara massal.

Memang orang yang mampu, kapan saja bisa makan daging. Mereka tinggal ke pasar daging, keluarkan dompet, lalu bisa membawa pulang. Banyak orang yang tidak begitu. Berbeda dengan orang-orang berduit, ada orang yang menunggu berbulan-bulan datangnya momentum makan daging. Minimal mereka akan memotong ayam atau bebek yang dipelihara dalam waktu berbulan-bulan sebelumnya.

Banyak orang yang sengaja memelihara ayam dan bebek bukan untuk dijual, melainkan untuk digunakan pada momentum ini. Suatu persiapan yang luar biasa bersemangatnya. Selain makan daging pada hari sebelum puasa, daging juga digunakan untuk makan bersama dalam rangka merayakan hari lahir Nabi. Lantas, apakah sama nilainya orang yang tinggal ke pasar daging, beli bertumpuk-tumpuk dan bawa pulang untuk dimasak, dengan mereka yang mendapatkan daging dari hasil peliharaannya sendiri? Tentu tidak sama.

Potret ini mungkin terlalu sederhana sekiranya dimaksudkan untuk menjawab soal di atas secara utuh. Apalagi dengan contoh lain, di kampung saya ada banyak tradisi yang hidup menyala di bulan penuh rahmat ini. Tidak ada di bulan yang lain, sebulan penuh di meunasah (musalla) tersedia bubur kanji –istilah yang disebut terakhir berbeda maksudnya dengan kata kanji yang lain. Bubur kanji ini dibuat dari beras dan santan dengan berbagai rempah di dalamnya. Sesekali, ketika ada orang yang menyumbang, ditambah daging ayam atau bebek. Sebenarnya bubur ini tersedia di tempat tertentu, di bulan yang lain. Di beberapa tempat di kota selalu ada, dengan menu yang terukur. Ketika orang merasa rindu dengan bubur ini, masing-masing akan membuat sendiri. Namun itu berbeda, ketika bisa antre untuk mendapatkan bagian secara gratis, dengan berbekal tempat yang terbuat dari bambu. Dan kanji itu, sadarilah, selalu berbeda dengan yang tersedia di pasar.

Sebagaimana aktivitas yang lain, orang-orang yang menunggu even penting seperti puasa, tidak selalu diungkapkan dengan kata-kata. Orang-orang yang memahami betapa besar hikmah dan ganjaran dalam bulan ini, akan menungguinya dengan penuh rasa rindu. Menunggu akan diikuti dengan berbagai persiapan agar berhasil melakoni dan menjemput berbagai hikmah yang tersedia di dalamnya. Orang-orang yang tidak mempersiapkan diri, diragukan ia sedang merindui.

Pertanyaan kemudian sedikit bergeser, tidak semata mengapa harus bahagia, melainkan apa yang kemudian dilakukan oleh orang-orang yang merasa harus bahagia tersebut.

Leave a Comment