Dalam salah satu tulisannya, “Membangun Hukum Nasional Indonesia Menjadi Hukum yang Progresif dan Sesuai dengan Kebutuhan dan Tuntutan Masa Kini dan Masa Depan” (Thafa Media, 2013), Profesor CFG. Sunaryati Hartono menyentuh soal moral yang sudah diujung tanduk. Saat tulisan tersebut ditulis, Ketua Mahkamah Konstitusi tertangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pada Oktober 2013. Hal ini tidak hanya membuktikan dengan nyata dan terang benderang bahwa hukum Indonesia tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Hal ini juga pertanda bahwa kehidupan dan moral seluruh bangsa dan negara kita benar-benar sedang di ujung tanduk.
Persoalan hukum dan moral sedang dipertanyakan. Penjaga marwah hukum justru melanggar hukum. Pengadil justru bermain belakang dengan mengutak-atik putusan, tentu dengan sejumlah kompensasi. Di negara atas awan, orang-orang yang memahami hukum, mencari jalan belakang untuk mendapatkan putusan yang menguntungkan. Lobi sangat penting dan berhubungan dengan orang-orang yang tepat, dilakukan dalam rangka mendapatkan putusan yang menguntungkan itu. Hal ini berlaku di negara atas awan. Sedangkan di negara tercinta ini, tidak seperti itu. Negara ini masih dengan teguh dan tegas mempersiapkan orang-orang yang berposisi sebagai benteng bagi pencari keadilan.
Pada saat yang sama berlangsung proses pembentukan hukum secara massif. Dalam relasi kewenangan pembentukan hukum, dalam realitas ditentukan oleh berapa produk yang mampu dihasilkan. Setiap awal tahun, rencana produk legislasi disusun untuk kemudian dikejar sebagai indikator tercapainya target. Ketika hal ini yang dominan, maka hal yang terjadi adalah menghidupkan mesin produksi.
Kesuksesan mesin adalah diukur dengan berapa banyak yang mampu dihasilkan dalam setahun atau dalam lima tahun. Tidak semua kita mengetahui secara persis, apa yang terjadi dalam ruang yang oleh David Easton disebut sebagai black box. Istilah ini tidak secara konkret berbicara produk legislasi, melainkan kebijakan publik yang prosesnya selalu dimulai dari input dan berakhir dengan output. Dalam pencapaian ini, terkait dengan proses, tidak semua orang bisa menjangkau semua tahapan.
Kebijakan publik dan legislasi, terdapat sedikit perbedaan. Terutama yang terkait dengan produk dan siapa yang memproduksi. Keduanya juga berbeda dalam konteks kategori. Kebijakan lebih konkret dibandingkan dengan legislasi yang proses pembentukannya selalu melibatkan dua pihak: eksekutif dan legislatif.
Legislasi selalu terkait dengan dua hal. Pertama, ia tidak mungkin dipisahkan dari proses. Sebuah produk legislasi tidak langsung menjadi, melainkan ada langkah-langkah yang harus ditempuh dan ini dalam realitas sangat ditentukan oleh keadaan politik. Kedua, ketika berbicara sebagai proses, maka legislasi sesungguhnya adalah pertaruhan dalam mewujudkan kehendak bangsa. Karl von Savigny menyebutnya dengan volkgeist (jiwa bangsa), yang seharusnya tercemin dalam hukum.
Proses pencapaian garis lurus volkgeist ini tidak mudah. proyek legislasi dominan berbicara tentang bagaimana sesuatu itu dipositifkan, dari jiwa bangsa yang bisa jadi sangat sulit dikerucutkan. Main penyederhanaan sering dijadikan jalan keluar. Lobi menjadi bahasa terakhir dalam rangka mempertemukan kata sepakat –yang bila tidak, langkah pemungutan suara akan dilakukan untuk memutuskan hal-hal yang krusial.
Akhir-akhir ini ada sejumlah orang yang mengungkapkan kegelisahannya terkait dengan setel pasal. Apakah pasal bisa disetel? Salah satu makna yang ada dalam Kamua Bahasa Indonesia, setel adalah mencocokkan agar sesuai. Konteksnya di sini adalah membuat cocok. Sesuatu yang awalnya tidak terpasang dengan baik, agar sesuai dengan apa yang diharapkan, lalu dicocokkan. Dalam hal ini, proyek setel tentu merupakan pekerjaan berat. Ada dua hal di sini yang menuntut keahlian –dan itu sepertinya hanya mampu dilakukan oleh mereka yang pandai berorasi atau kemapanan pengetahuan.
Pertama, untuk meyakinkan publik bagaimana sesuatu itu penting. Hal yang awalnya mungkin disadari memiliki sejumlah ganjalan, dan tidak cocok, dengan berbagai penjelasan dan sosialisasi kepentingan, berkemungkinan hal ini menjadi cair di mata publik. Tentu ini bukan persoalan mudah, karena mereka yang meyakinkan hal demikian sudah memasang badan sedemikian rupa.
Kedua, juga bukan perkara mudah ketika memutuskan hal tertentu yang saling bertabrakan kepentingan, harus disesuaikan dengan keinginan setel-menyetel. Seperti seseorang yang ingin mendengar lagu gambus di tengah komunitas pendengar tape recorder yang menyukai pop atau rock. Ketika semua orang mau dan bersedia mendengar gambus, walau itu dalam pandangan mereka tidak sesuai untuk jiwa mereka, tentu butuh usaha keras untuk meyakinkan dan memberi pengertian.
Sampai di sini, posisi orang menjadi terbelah. Ada sebagian yang berangkat dari pertanyaan boleh atau tidak boleh. Orang yang tipe demikian, akan selalu mempertanyakan apakah sesuatu yang dilakukan itu boleh menurut peraturan perundang-undangan dan jiwa bangsanya. Jika tidak sesuai, maka akan ditolak. Sedangkan sebagian lain, memilih jalan pragmatis. Bukan boleh atau tidak boleh, melainkan bisa atau tidak bisa. Sesuatu yang bisa dilakukan, apalagi dengan mendatangkan manfaat dan untung, akan dilakukan. Sedangkan jalan di belakangnya, baru dicari rumus setelah-menyetel itu.
Pertanyaan dengan derajat tinggi mengenai boleh atau tidak boleh, terkesan mulai ditinggalkan. Kepentingan praktis, dianggap jauh lebih menguntungkan. Apalagi dengan mesin-mesin yang dibentuk oleh jiwa liberal, yang menganggap semua hal bebas nilai.
Inilah yang terjadi dalam sejumlah proyek legislasi kita. Kepentingan itu setelah pasal itu baru ketahuan ketika ada kasus tertentu, semisal rasuah. Padahal mereka yang terlibat, seperti fenomena gunung es. Harus ada pola saling bergandeng tangan menyukseskan setel-menyetel itu, namun selalu yang ditemukan hanya golongan kecil yang biasanya berelasi dengan kepentingan yang lain lagi.
Terkait dengan tumbal. Modus setel bukanlah sesuatu yang baru. Kepentingan orang bermodal dan beruang, mempertaruhkan banyak hal untuk membuka tabir pasal ini. Agar sesuatu menjadi bisa dilakukan, bagi yang mau dan akan menangguk untung, mereka akan mengeluarkan modal yang tidak sedikit. Sesuatu yang hakikatnya rasuah, bagi golongan demikian, dianggap sebagai modal ampuh yang ketika semuanya sudah selesai, tinggal mereka mengambil untung haramnya.
Salah satu cara menutup setel pasal inilah dengan penguatan mentalitas. Jangan jadi mental maling yang mau diperalat. Jangan mau bermental terjajah, di bawah kendali uang. Mengambil untung lewat jalan belakang yang tidak sah dan haram, dan mengadaikan kepentingan besar lain: bangsa dengan masyarakatnya.