Mental Mendengar

Setiap interaksi, terutama dengan menggunakan indera ucap, selalu ada penyampai dan pendengar. Orang yang berbicara dan orang yang mendengarkan. Tidak mungkin hanya ada orang yang berbicara, tanpa pendengar. Demikian juga sebaliknya. Orang yang mendengar, mesti …

Setiap interaksi, terutama dengan menggunakan indera ucap, selalu ada penyampai dan pendengar. Orang yang berbicara dan orang yang mendengarkan. Tidak mungkin hanya ada orang yang berbicara, tanpa pendengar. Demikian juga sebaliknya. Orang yang mendengar, mesti dari orang yang berbicara. Terjadi salah satu saja, akan membuat pihak lain yang melihat mengukur kita dengan tidak normal. Orang yang berbicara sendiri, misalnya, jika dilihat orang lain, pasti akan menimbulkan tafsir lain. Orang yang hanya senyum-senyum sambil entah mendengar apa, pun akan menimbulkan tanda tanya.

Keterpasangan dalam proses berbicara-mendengar, diisi oleh dua pihak. Keduanya harus saling memberi kesempatan, sekaligus memberi respons. Orang yang tidak bereaksi atas apa yang dilakukan oleh lawannya, juga tidak akan memberi dampak. Sama seperti orang melakukan apapun seorang diri. Padahal apapun yang dilakukan, ingin mendapat sesuatu dari orang lain. Pada posisi lain, ketika orang melakukan sesuatu tanpa ada orang lain, bisa berakibat fatal –saat dilihat orang lain. Banyak orang kita, pada awal handphone hadir, barangkali mewakili kegelisahan apa yang saya ungkapkan. Waktu itu, banyak orang berkomunikasi, dipandang orang lain seperti berbicara sendiri. Ketika pada taraf ini, bisa jadi akan dianggap kita sebagai orang yang harus meluruskan kembali akal sehat.

Terserah bagaimana kita memberi respons terhadap suasana demikian, lawan bicara, lawan dengar, tentu dibutuhkan. Banyak orang yang justru mengeluarkan uang untuk menyediakan para pendengar itu. Apa yang disebut sebagai panggung, ada yang disediakan khusus untuk mereka yang hanya ingin didengar, bukan mendengar. Apalagi zaman sekarang tidak semua orang mau mendengar orang lain. Ada kesan lebih banyak hanya ingin didengar saja. Apapun yang dibicarakan, hendaknya didengar oleh orang yang ada di sekelilingnya. Tidak ada mental untuk membuka diri dan mendengar apa yang diungkapkan orang lain. Seolah hanya kita saja yang memiliki kemampuan untuk didengar, sedangkan orang lain tidak. Padahal bisa jadi, orang lain juga memiliki kemampuan yang melebihi dari kita.

Sayangnya kondisi di atas, terjadi di hampir semua tempat. Dalam komunitas orang-orang pandai pun, banyak yang hanya ingin didengar saja apa yang diungkapkan, bukan mendengar. Seharusnya orang pandai lebih memiliki kemampuan untuk memahami bentuk ciptaan, bahwa dua telinga dan satu mulut, seyogianya kita memang lebih banyak mendengar. Ada waktunya orang-orang berbicara, karena jika semua orang berbicara pada kesempatan yang sama, lantas siapa yang akan mendengarnya. Bukankah berbicara tanpa ada yang mendengar, sama seperti berbicara tanpa makna? Untuk apa berbicara banyak, namun tidak ada yang mendengar. Dua telinga yang kita punya, sudah seharusnya kita semua berbesar hati untuk tidak lebih banyak bicara dari mendengar.

Leave a Comment