Mewah

Menjadi orang yang bisa terus-menerus berbuat baik semakin langka. Begitu kata sebagian orang. Tak heran, saat dijumpa seseorang melakukan sesuatu yang sederhana dan baik, dipandang sebagai sesuatu yang luar biasa di zaman sekarang. Lantas apa …

Menjadi orang yang bisa terus-menerus berbuat baik semakin langka. Begitu kata sebagian orang. Tak heran, saat dijumpa seseorang melakukan sesuatu yang sederhana dan baik, dipandang sebagai sesuatu yang luar biasa di zaman sekarang. Lantas apa beda dengan masa lalu? Bukankah ukuran baik dan buruk itu, selalu sama dalam lintas zaman?

Orang bisa berkilah, bahwa yang berubah itu bukan pada baik dan buruk, melainkan bagaimana cara melihat dan menafsirkan baik dan buruk itu. Mereka yang bisa mengaduk-aduk, akan menyebutkan bahwa semua sangat tergantung dari bagaimana manusia menafsirkan. Berdasarkan tafsir itulah, realitas yang melahirkan konteks masing-masing akan terlihat.

Perdebatan demikian, hanya bisa diselesaikan kalau semua orang setuju bagaimana sesungguhnya konteks ideal dari sebuah yang baik. Semua orang berbicara mengenai konteksnya masing-masing. Sedangkan kalau berangkat dari titik pandang yang sepaham, mungkin semua akan dapat menangkapnya.

Begitulah. Zaman ini, perbuatan baik menjadi sesuatu yang luar biasa. Orang yang menemukan setumpuk uang, lalu ia mencari orang yang mempunyai uang itu untuk mengembalikannya, lalu menjadi berita yang luar biasa. Kira-kira timbul kesan bahwa ternyata masih orang yang demikian pada zaman sekarang. Temuan ini kemudian ditambah dengan tidak mau menerima sesuatu sebagai imbalan oleh yang menemukan.

Hal di atas menandakan bahwa berbuat baik yang ikhlas, menjadi sesuatu yang langka. Saking langkanya hingga ia disebut sebagai sesuatu yang sangat luar biasa. Begitu juga dengan perbuatan baik yang lain, ketika ditemukan dalam masyarakat, dianggap sebagai sesuatu yang semakin sulit ditemukan. Mungkin atas dasar inilah, ada sejumlah televisi yang membuat program tayangan terkait dengan orang-orang baik ini. Seseorang dipancing terkait dengan mau atau tidaknya ia berbuat baik, yang direkam, tentu saja di luar sepengetahuannya.

Sesungguhnya potensi untuk berbuat baik selalu ada di sekitar kehidupan kita. Semua orang pada dasarnya baik, hanya saja ada sesuatu yang membuatnya menjadi tidak baik. Ketika tarikan tidak baik menjadi dominan dalam masyarakat, maka sesuatu yang baik menjadi langka dan luar biasa. Sebaliknya, dalam masyarakat yang tarikan baiknya besar, maka melakukan perbuatan baik dan lurus justru tidak dianggap sebagai sesuatu yang luar biasa dan berlebihan. Justru dalam masyarakat yang baik, melakukan sesuatu yang tidak baik akan berimplikasi kepada diri pelaku.

Demikian perilaku baik, yang seyogianya bisa dilakukan oleh pihak mana pun tanpa memandang kelas. Fenomena kelas ini adalah sesuatu yang lain yang juga muncul di sekeliling kita. Seseorang yang memiliki strata tinggi dalam masyarakat biasanya jauh lebih mendapat tempat dibandingkan dengan mereka yang berstrata rendah. Mereka yang memiliki kekayaan lebih besar jauh lebih mudah meyakinkan banyak hal dibandingkan mereka yang tidak berkekayaan. Orang yang secara sosial lebih tinggi, apapun yang dikatakan jauh lebih dipatuhi. Demikian juga secara politik, yang lebih banyak bisa mempengaruhi dibandingkan yang lain.

Dengan kondisi di atas, maka sekarang ini adanya perbedaan dalam melihat sesuatu dianggap bukan sesuatu yang menggelisahkan. Melihat secara berbeda antara satu orang dengan yang lain akibat adanya perbedaan strata. Nyatanya ini sering terjadi. Orang yang berkemampuan secara ekonomi, jauh lebih dipercaya untuk memegang uang dalam aktivitas masyarakat dibandingkan dengan mereka yang secara ekonomi biasa saja. Sehingga sekiranya ada orang yang dilihat tampang berkekayaan biasa, ketika melakukan sesuatu yang dibayangkan hanya bisa dilakukan oleh mereka yang kaya, banyak orang yang tidak dipercaya.

Orang sering tidak menduga dari orang lain yang datang ingin menawarkan sesuatu. Ada sebuah cerita menarik dari lalu lintas informasi media sosial, tentang seseorang yang ingin menyumbangkan setengah hartanya untuk pembangunan sebuah tempat ibadah, namun ada kesan tidak begitu mendapat tanggapan bagus dari panitia pembangunan karena profil yang bersangkutan tidak tampak berkekayaan. Kesan ini muncul, bisa jadi disebabkan oleh rasa ketika mereka melihat penampilan orang yang datang. Sebagian orang merasa, seolah yang bisa menyumbang banyak itu hanya mereka yang datang dengan kendaraan mewah. Padahal tidak selalu demikian. Mereka yang memiliki harta pas-pasan pun, bisa jadi penyumbang utama dalam pembangunan sesuatu dalam masyarakat.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment