Pemikiran seputar bagaimana infra dan suprastruktur negara dipikirkan dan dibangun, tentu bukan hal yang sederhana. Para pendiri bangsa berusaha memikirkan semua hal di awal, saat sebelum atau sesudah proklamasi kemerdekaan dilakukan, agar proses pelaksanaan kekuasaan berjalan dengan baik. Tidak terjadi hal-hal yang di luar batas. Jadi dari awal, para the founding father sudah berpikir dan membangun batasan bagaimana pengelolaan negara harus dilakukan.
Berpikir tentang konsep awal bagaimana sesungguhnya dibangun perkembangan hukum negara yang seperti sekarang ini, merupakan salah satunya. Berbagai negara berkembang setelah Perang Dunia Kedua berlomba-lomba membangun hukumnya. Basis berangkat dari konsep hukum yang juga berbeda-beda. Ada yang berhasil membangun hukumnya dengan baik, lengkap dengan world view bangsa. Akan tetapi, tidak sedikit negara-negara yang dalam membangun hukumnya dengan cara mencangkok dari negara-negara yang sebelumnya menjajah mereka.
Ada sejumlah versi negara hukum yang bisa dipilih. Hanya untuk catatan saja, bahwa proses untuk berpikir tentang negara hukum, sudah dilakukan sejak negara ini merdeka. Proses untuk memilih versi negara hukum tertentu, sudah pasti dilakukan pada zaman tertentu dengan penuh pertimbangan. Selalu ada alasan tertentu di balik proses memilih. Orang-orang yang hidup dan akan hidup kemudian, pertanyaan sehakiki apa pun tentang pondasi bernegara, harus memahami proses memilih tersebut. Jika ada pilihan yang kurang tepat, tidak bisa serta merta bisa digugat pada zaman yang lain. Perkembangan pemikiran selalu terjadi dan berkemungkinan lahirnya berbagai pikiran yang berbeda.
Sebagaimana dalam uraian sebelumnya saya sampaikan, bahwa pilihan negara hukum disebabkan negara ini ingin meneguhkan hukum sebagai subsistem utama. Bukan yang lain: politik, ekonomi, agama, sosial-budaya, dan sebagainya. Pilihan ini sudah dipikirkan pada era proklamasi, dengan berbagai pertimbangannya. Menegaskan hukum sebagai sebagai subsistem utama, bukan tanpa dasar.
Pertanyaannya apakah memang hukum berada di atas berbagai subsistem yang lain? Dalam konstitusi sepertinya jelas demikian. Sebelum diamandemen, konstitusi kita hanya mempertegas di dalam penjelasan, bahwa “Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat)”. Secara konkret disebutkan, “Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machstaat)”. Adanya sistem konstitusional untuk menegaskan bahwa “Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas)”.
Penegasan ini sangat penting, dan dalam kajian hukum ia berkembang sedemikian rupa, dari yang sederhana hingga yang paling rumit. Para sarjana yang melihat soal ini dengan sederhana, seolah ingin menandaskan, bahwa sudahlah, sudah tidak perlu diperdebatkan lagi, semuanya sudah jelas. Namun sebagian sarjana, justru berpikir sebaliknya.
Ketika dalam penjelasan disebut bahwa Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat), muncul pertanyaan mengapa posisi hukum demikian mesti ditegaskan dengan kata rechstaat? Pertanyaan ini tidak sederhana.
Seperti ideologi terbuka yang dibangun bangsa ini, menegaskan bagaimana konsep negara hukum itu berbasis pada apa yang ada dalam bangsa.
Apa yang terjadi jika konsep negara hukum berasal dari negara lain yang cangkok. Seharusnya mesti dipikirkan konsepnya secara hati-hati. Dalam makna yang lebih operasional, apakagi dilakukan transfer hukum kongkret yang tanpa penyaring, justru akan mengacaukan bagaimana masyarakat yang ada di dalam negara tertentu.
Hukum dengan segenap konsepnya, berdasarkan konsep hukum kita, lalu lebih luas kepada konsep negara hukum kita, pada dasarnya menyatu dengan nilai-nilai. Hanya dengan nilai, bangsa ini bisa lebih sempurna apa yang dijadikan sebagai konsep negara hukumnya.