Pernyataan bahwa “hukum sebagai panglima” di negeri ini, pada dasarnya sebagai peneguhan posisi kita sebagai negara hukum. Bukan yang lain. Negara kita menjadikan hukum sebagai yang utama –subsistem yang mengatur dan mengontrol subsistem lainnya.
Istilah panglima, ketika dikaitkan dengan hukum, merupakan istilah implisit. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata panglima dimaksudkan sebagai: “(1) hulubalang; pemimpin pasukan; (2) pemimpin kesatuan tentara”. Terminologi ini tidak bisa langsung terbaca sebagai terkait dengan hukum. Namun harus dikaitkan.
Dalam proses kait-mengkait ini, muncul makna baru yang tidak lagi hanya dipahami sebagai pemimpin pasukan atau pemimpin kesatuan tentara. Pada posisi ini, panglima sudah ingin ditunjukkan bahwa adanya superioritas yang menggambarkan ia harus berada di tempat yang lebih tinggi dari hal lainnya. Oleh para pemikir hukum, lalu disebut panglima dalam rangka untuk menunjukkan supremasi hukum. Kata supremasi sendiri dalam Kamus Bahasa Indonesia sebagai “kekuasaan tertinggi”.
Pada kenyataannya, dalam kajian hukum, sejumlah pendekatan bisa digunakan untuk menguji posisi kepanglimaan ini. Dan posisi kepanglimaan hukum, umumnya dijawab lewat cara berpikir dan konsep hukum sebagaimana yang seharusnya. Ketika berhadapan dengan konsep hukum sebagaimana yang senyatanya, persoalan menjadi lain. Apa yang disebut sebagai panglima, dalam alam realitas, bisa saja tampak sebaliknya.
Ada tiga model pendekatan –dalam wujud hubungan hukum dan politik—yang pernah digambarkan Prof. Muhammad Mahfud MD. Ia menggambarkan dalam buku yang berasal dari disertasinya di Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Perkembangan Politik Hukum, Studi tentang Pengaruh Konfigurasi Politik terhadap Karakter Produk Hukum. Bukunya sendiri berjudul Politik Hukum di Indonesia (MD, 2012). Rangkuman dari ketiga hubungan ini pula yang diuraikan sebagai pengantarnya dalam buku yang ditulis Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, sebagai berikut (Lev, 1990).
Pertama, hukum determinan atas politik. Kenyataan hubungan seperti ini didasarkan pada asumsi dan pandangan das sollen, apa yang seharusnya. Bahwa hukum berada pada posisi tertinggi yang menentukan bagaimana seharusnya politik diselenggarakan. Pandangan ini dianut secara kuat di negara-negara yang menganut supremasi hukum, karena politiklah yang diposisikan sebagai variabel terpengaruh (dependent variable) oleh hukum. Pernyataan bahwa hukum dipanglimakan ketimbang politik memosisikan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan yang menentukan wajah politik. Dalam hubungan demikian, pernyataan bahwa politik adalah produk hukum mungkin saja menemukan kebenarannya, lebih-lebih jika hukum diartikan sebagai peraturan yang abstrak.
Kedua, jika pandangannya menggunakan das sein, apa dan bagaimana kenyataannya, maka pernyataan terbalik adalah “politik determinan atas hukum” mungkin saja dibenarkan. Dalam pandangan ini, hukum dapat dikonsepsikan sebagai undang-undang yang dibuat oleh badan legislatif, bahkan mencakup pula konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya. Konstitusi, misalnya disebutkan oleh Wheare merupakan resultante (produk kesepakatan politik) sesuai dengan situasi politik, sosial, ekonomi pada saat konstitusi itu dibuat. Karena itu pula di sini, pernyataan “hukum adalah produk politik” menemukan kebenarannya. Sebab menurut faktanya, hampir tidak ada yang membantah bahwa hukum dalam arti undang-undang dan peraturan-peraturan yang abstrak sesungguhnya merupakan kristalisasi, formalisasi, atau legalisasi dari kehendak-kehendak politik yang berkompetisi, baik melalui kompromo atau dominasi oleh kekuasaan politik yang kuat.
Ketiga, berdasar pada asumsi das sollen-sein, hubungan hukum dan politik tidak bisa dikatakan ada yang lebih dominan atau lebih unggul karena keduanya secara simetris saling memengaruhi. Kalau misalnya politik diartikan sebagai kekuasaan, maka lahirkan pernyataan “politik dan hukum itu interdeterminan”, sebab “politik tanpa hukum itu zalim, sedangkan hukum tanpa politik itu lumpuh”.
Seorang Begawan hukum, Prof. Satjipto Rahardjo, yang memberi testimoni terhadap buku ini, menyebut tradisi menulis materi hukum ini tidak berbatas pada metode normatif-deduktif. Kajian buku ini dipandangnya sebagai buku yang mampu menampilkan sosok hukum secara lebih lengkap.
Pada awal Prof. Mahfud menulis disertasi ini, ada sarjana hukum yang mengklaim seolah kajian semacam ini bukan rumahnya di studi hukum. Namun apa yang terjadi belakangan ini, menampilkan karya politik hukum ini sebagai referensi wajib akademis bagi kalangan hukum.
Bukankah apa yang ditampilkan Prof. Mahfud MD, sesungguhnya bisa dipilih dalam rangka menangkap apa yang ditampilkan oleh realitas hukum? Saya masih bertanya-tanya tentang pengalaman Prof. Mahfud MD selama ini, yang sudah melampaui berbagai kekuasaan dalam bernegara, apakah ia sudah memikirkan akan mendudukinya kemudian. Ia sudah pernah menjadi anggota legislatif, pernah duduk di Menteri Pertahanan dan Menteri Koordinator Hukum dan Hak Asasi Manusia, sebelumnya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi.