Istilah pelacuran intelektual, sudah lama muncul dan didiskusikan. Istilah ini bisa saja terlalu vulgar, namun ia terus didebat. Konteksnya berbagai macam. Ada yang setuju dan yang tidak. Orang yang setuju, dikaitkan dengan istilah itu yang dianggap terlalu kotor. Namun mereka yang tidak setuju, menyebut perilaku orang yang diklaim penjaga ranah abad, justru melakukan hal-hal yang merusaknya.
Lebih luas, istilah ini sendiri juga terus berkembang. Dalam dunia nyata, terkait dengan orang yang melakukan perbuatan keji itu, istilah sudah mulai muncul beragam. Perbuatan ini sudah dianggap sebagai satu profesi, yang masih ada tetapi melegalkannya dengan sejumlah cara.
Dengan demikian sebuah istilah terus berkembang sedemikian rupa. Ia kemudian didiskusikan terus-menerus. Hingga pada titik tertentu, bisa muncul makna dan konteks lain yang berbeda dari apa yang dipikirkan sebelumya –terutama ketika konteks awal istilah demikian disebutkan.
Begitulah pikiran saat saya membaca satu catatan. Ada debat hangat yang diungkapkan Daniel Dhakidae (2003) dalam bukunya Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru. Mengenai apa yang disebut sebagai pelacuran intelektual. Istilah ini, ketika dimulai oleh seseorang yang bernama Wira, menulis artikel di Indonesia Raya edisi 15 April 1969 dengan judul “Tjontoh2 Pelatjuran Intelektuil Dizaman Resim Soekarno”. Artikel ini mendapat sambutan hangat, dengan berbagai tanggapan dan senjata pikirnya. Di media tersebut, debat berlangsung lama. Bahkan tidak hanya di Indonesia Raya, debat itu juga menyebar ke Kompas dan Harian Kami. Sehari sebelum artikel itu naik, ada pengantar redaksi Indonesia Raya yang menulis dengan begini. “Tulisan ini dimaksudkan sebagai tjermin kepada generasi muda jang mendatang betapa kita harus berbuat dan berlaku djudjur di dalam sikap dan pemikiran dan berani didalam mengemukakan apa jang benar dan apa jang tidak benar. Apa jang terdjadi pada bangunan kekuasaan otoriter dari Soekarno dengan segala eksesnja itu pada hakikatnja jalah karena tjendekiawan jang sejogianjya harus berbitjara kebenaran, telah melatjurkan dirinya dengan turut bersenandung dan latah mengikuti irama revolusi membangun kekuasaan otoriter”.
Dhakidae menulis apa yang disebutkan Wira tersebut, yang diklaim sebagai pemerkosaan ilmu pengetahuan dan campurnya kekuasaan politik mengatur kehidupan dan kebebasan mimbar perguruan tinggi tidak mendapatkan perlawanan dari pada guru besar dan cendekiawan di seluruh Indonesia.
Satu catatan saya yang penting dari debat tersebut, bahwa sejak saat itu, mereka sudah saling menggugat mengenai sesuatu yang dianggap sudah lama terjadi. Ada yang menyebutkan tidak jelasnya batas yang disebut interlektual. Ada yang mengatakan sebagai luka lama yang dibuka kembali. Tentu, masing-masing pendapat tidak bisa dilepaskan dari kekuatan yang berdiri di belakang mereka. Dan saya tidak akan sampai ke hal tersebut. Saya juga tidak ingin mengomentari perguruan tinggi mana saja yang dominan di balik berbagai rezim kekuasaan. Yang menjadi catatan bahwa ketika sesuatu yang digugat, tetap ada pembelaan bahwa mereka tidak bisa dipersalahkan.
Sekarang muncul bahasa yang disederhanakan sebagai “pengabdian”. Namun dalam perjalanan bagaimana sejarah pelacuran intelektual dimulai, maka yang terjadi adalah perkawinan antara mendayagunakan ilmu di satu pihak, dengan kompensasi di pihak lain. Keduanya seperti saling memenuhi, dan ketika satu sama lain tidak bisa meneguhkan diri masing-masing, maka berpotensi digolongkan sebagai golongan pelacuran intelektual tersebut.
Saya sendiri geli dengan kata pelacuran. Perasaan ini tentu subjektif sekali. Ada gangguan psikologis tertentu. Akan tetapi bukan berarti menepis banyaknya kenyataan menggunakan ilmu untuk kepentingan yang sangat menzalimi. Tidak nyaman dengan kata pelacuran, tidak berarti bahwa saya mengizinkan orang pandai berdiri di golongan yang suka menebar kezaliman untuk orang banyak –sebuah kondisi yang sudah mulai digugat sejak awal kemerdekaan.