Mengabdi

Saat mengunjungi seorang famili yang sudah berusia tua di Jakarta, ada satu hal diceritakan sebagai pengalaman dalam hidupnya. Tentu pengalaman orang berbeda-beda. Ia seorang perantau –satu tipikal yang tidak dimiliki banyak orang. Ia sudah berangkat …

Saat mengunjungi seorang famili yang sudah berusia tua di Jakarta, ada satu hal diceritakan sebagai pengalaman dalam hidupnya. Tentu pengalaman orang berbeda-beda. Ia seorang perantau –satu tipikal yang tidak dimiliki banyak orang. Ia sudah berangkat dari kampung setengah abad yang lalu. Sungguh bukan mudah mengambil keputusan untuk merantau, pada zaman itu.

Seorang yang akan pergi jauh, tidak didukung oleh transportasi yang cepat. Pilihannya hanya dua, naik bus lalu dilanjutkan dengan kapal air. Ia naik bus ke Medan, dan di sana ia naik kapal ke Jakarta. Waktu yang dibutuhkan hampir dua minggu.

Sesampai di sana, ia memilih jadi pegawai negeri. Padahal banyak perantau, lebih memilih jadi pengusaha. Baginya, pegawai negeri memiliki waktu yang lebih besar untuk mengabdi bagi orang banyak. Di tempat asal, merantau untuk menjadi pegawai negeri pada zaman itu, benar-benar jadi bahan tertawaan. Secara ekonomi, ia tidak bisa berbuat banyak hal dengan gaji yang diterima. Sampai tua baru bisa memiliki satu rumah kecil di pinggir kota.

Saya kira semangatnya yang patut dicontoh. Saat banyak orang tidak ingin menjadi pegawai, ia justru memilih jalan itu dengan alasan banyak kesempatan untuk mengabdi. Ia sudah tahu pendapatannya tidak seperti pendapatan orang lain. Dengan demikian, ia sudah sangat sadar dengan pilihannya.

Kita bisa membandingkan dengan pendapatan kita selama ini. Di berbagai tempat kita bekerja, tunjangan yang didapat bahkan bisa berlapis. Ada sejumlah uang yang diterima setiap bulannya. Prinsipnya, tunjangan adalah uang atau barang yang dipakai untuk menunjang. Sebagai uang, ia merupakan tambahan pendapatan di luar gaji, yang sifatnya bisa berbentuk bantuan atau sokongan.

Begitulah bentuk tunjangan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa tidak semua mendapatkan. Selama belum mencukupi syarat, tunjangan tersebut tidak bisa diberikan. Namun ia sangat terkait dengan upaya untuk meningkatkan kinerja, agar pelayanan yang diberikan semakin besar karena semangat yang besar.

Saya tidak tahu persis berapa jumlah tunjangan, karena dua alasan. Pertama, karena saya belum mencukupi syarat untuk menerima tunjangan, termasuk tunjangan sertifikasi, makanya belum pernah diberikan. Otomatis saya belum pernah merasakannya hingga sekarang. Kedua, terus-terang, saya jarang menanyakan sesuatu yang terkait dengan uang. Pilihan ini, terus-terang harus saya sampaikan secara fair, apalagi menanyakan kepada orang lain yang sudah mendapatkannya, bahwa untuk penerimaan uang saja tidak pernah saya tanyakan, apalagi untuk yang tidak diterima.

Untuk yang diterima, biasanya ada beberapa waktu dan item tertentu, sebagai pegawai kita mendapatkannya. Namun sangat sedikit orang yang menanyakan uang apa yang diterima itu. Seandainya pun ada yang tanya, orang-orang akan marah dan mencibir, takut-takut akan dibatalkan pemberian tersebut.

Uang tersebut ada yang memang berasal dari jerih, ada juga yang diberikan berkaitan dengan momentum tertentu. Ketika mau hajatan tertentu, diberikan. Malah kalau tidak diberikan, justru seperti ada yang aneh. Ketika tidak ada anggaran, akan dikatakan kepada pimpinan mereka kurang kreatif. Ketika menggunakan uang –minus pemberian, akan dikritik habis-habisan.

Dengan alasan demikian, saya kira masuk akal. Saya tidak ingin mengomentari bagaimana proses dana tunjangan. Menarik bagi saya melihat bagaimana keterpaduan antara berbagai bidang belum berjalan. Bidang pendidikan dengan bidang pembayaran tunjangan, seperti tidak ada komunikasi. Seharusnya ada terbangun pola kerja yang dipahami secara bersama, agar langkah apapun yang dilakukan, tidak memberikan implikasi tertentu pada masa mendatang.

Sekiranya ada kasus mengambil yang bukan haknya, penting sekali untuk merenung sejenak, untuk apa semua itu. Saya harus selalu ingat semangat orang tua tadi, berpuluh tahun meninggalkan kampung hanya untuk mengabdi, dengan pendapatan yang bisa dihitung. Betapa kecilnya pendapatan, bahkan saat tua baru bisa punya satu rumah mini.

Kita bisa membayangkan dengan keadaan kita sekarang. Di zaman ini. Dengan berbagai fasilitas yang ada dan diberikan, seberapa besar semangat kita untuk mengabdi secara ikhlas?

Leave a Comment