Dalam proses perumusan Pancasila dilakukan melalui beberapa tahapan persidangan, banyak tokoh yang dimasukkan di dalamnya seperti Muh. Yamin, Soepomo, dan Soekarno. Namun dari ketiga tokoh tersebut, hanya pemikiran Soekarno yang mendapat apresiasi dari peserta secara aklamasi dan pancasila yang dianggap sebagai keunggulan pemikiran Soekarno menjadi sesuatu yang berbeda dalam tatanan dan terminologi. Sebelum Soekarno berpidato pada tanggal 1 Juni 1945, Muh. Yamin dan Soepomo sebelumnya pernah berpidato dan memiliki kemiripan satu sama lain (Burlian, 2020).
Pada tanggal 29 Mei 1945, Mr. Muhammad Yamin mengajukan usul tentang asas dan dasar Negara Indonesia Merdeka. Saat ini, Yamin adalah orang pertama yang mengusulkan hal tersebut, berisi lima dasar, yaitu: (1) Peri Kebangsaan; (2) Peri Kemanusiaan; (3) Peri KeTuhanan; (4) Peri Kerakyatan; (5) Kesejahteraan Rakyat. Kelima asas tersebut oleh Yamin belum diberi nama, namun pokok-pokok pikiran Yamin cukup jelas. Kemudian dilanjutkan oleh Prof. Mr. Soepomo pada tanggal 31 Mei 1945 yang menyebutkan lima dasar negara, yakni: (1) persatuan; (2) kekeluargaan; (3) keseimbangan lahir dan bathin; (4) musyawarah; (5) keadilan rakyat (Syamsuddin, Murthoha, Parmono, Akhwan, & Rohiatuddin, 2009).
Para sejarawan menggolongkan pemikiran usulan ini dalam tahap pertama siding BPUPKI, yang berlangsung pada tanggal 29 Mei hingga 1 Juni 1945. Hal yang dibahas dalam sidang tahap pertama tersebut adalah berbagai hal menyangkut persiapan kemerdekaan Indonesia –di dalamnya termasuk dasar negara yang kemudian dinamakan dengan Pancasila. Selain itu, hal lain yang dibahas adalah syarat-syarat hukum berdirinya suatu negara, kemudian bentuk negara dan bentuk pemerintaha yang seperti apa, serta dasar negara.
Setelah Muhammad Yamin yang memberikan pemikiran pada 29 Mei 1945, dilanjutkan dengan pemikiran Soepomo pada tanggal 31 Mei 1945, dan Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945.
Apabila dikaji konsepsi lima dasar yang diajukan Soepomo untuk Indonesia merdeka, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 telah memberikan tempat terhadap hal itu. Bahkan dalam pidato awal Soepomo menegaskan, “… jika kita hendak mendirikan negara Indonesia yang sesuai dengan keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia, maka negara kita harus berdasarkan atas pikiran-pikiran (staats idee) negara integralistik, negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan dalam lapangan apa pun (Syamsuddin, Murthoha, Parmono, Akhwan, & Rohiatuddin, 2009).
Ada tiga hal penting yang ditegaskan Soepomo, antara lain terkait bagaimana pemerintahan negara, hubungan negara dan agama, serta bagaimana bentuk negara. Pemikirannya pada tekanan yang harus mencerminkan pada alam pikiran kebudayaan Indonesua, berupa cita-cita persatuan, keseimbangan lahir dan batin, musyawarah, serta persatuan yang diliputi semangat gotong royong dan kekeluargaan.
Soepomo sendiri mengaitkan tiga teori negara terkait hakikat cita-cita negara, yakni teori perseorangan, teori golongan, dan teori integralistik. Soepomo menggarisbawahi negara integralistik yang dimaksudkan, di dalamnya bangsa selalu teratur, persatuan rakyat tersusun, hingga tak aka nada dualism antara “staat” dan “individu”. Antara susunan staat dan susunan hukum individu, tiada dualisme antara “staat und staats freie geseeschaft” tidak membutuhkan jaminan grund-und Freiheitsrehchre dari individu kontra staat, oleh karena individu tidak lain adalah bagian organic dari staat, yang mempunyak kedudukan dan kewajiban tersendiri untuk menyelenggarakan kemuliaan staat. Sebaliknya staat bukan badan kekuasaan atau raksasa politik yang berdiri di luar lingkungan suasana kemerdekaan seseorang. Demikian pokok-pokok pikiran Prof. Soepomo di dalam siding BPUPKI tanggal 31 Mei 1945 (Syamsuddin, Murthoha, Parmono, Akhwan, & Rohiatuddin, 2009).
Tanggal 1 Juni 1945 pada hari keempat sidang BPUPKI tampillah Soekarno mengemukikakan pendapatnya tentang calon rumusan dasar negara Indonesia, dengan mengusulkan lima prinsip, yaitu: (1) kebangsaan Indonesia; (2) internasionalisme atau perikemanusiaan; (3) mufakat atau demokrasi; (4) kesejahteraan sosial; (5) keTuhanan Yang Maha Esa. Keistimewaan pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945 itu adalah bahwa kecuali berisi pandangan atau usul mengenai dasar negara Indonesia merdeka, juga berisi nama dasar negara, yakni Pancasila (Syamsuddin, Murthoha, Parmono, Akhwan, & Rohiatuddin, 2009).
Perumusan dasar negara kemudian dilanjutkan oleh Panitia Semvilan yang dibentuk berisi nama-nama berikut: Soekarno, Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, Ahmad Soebardjo, AA. Maramis, Abdulkahar Muzakkir, Wahid Hasyim, H. Agus Salim, dan Abikusno Tjokrosujoso. Tim Sembilan bermusyawarah di rumah Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur, menghasilkan rumusan pembukaan Undang-Undang Dasar yang di dalamnya berisi: (1) Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab. (3) Persatuan Indonesia. (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaanaan dalam permusyawaratan perwakilan. (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pembahasan Pancasila dilanjutkan pada persidangan BPUPKI tanggal 10 hingga 13 Juli 1945. Dalam sidang ini melaporkan hasil kerja berupa penyusunan draf dasar negara. Pada sidang inilah keberatan terhadap bunyi sila pertama disampaikan, “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Atas keberatan tersebut, dibentuk tim yang diketuai Soepomo. Hasil kerja ini masih diperhalus oleh tim lain yang beranggotakan Hoesein Djajadiningrat, Agus Salim, dan Soepomo.
Pada musyawarah terakhir, Pancasila disepakati. Pancasila disahkan pada Sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 dengan menyetujui Pancasila dicantumkan dalam Mukaddimah Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar negara. Bunyi Pancasila yang disahkan adalah: (1) Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab. (3) Persatuan Indonesia. (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.