Negara hukum, sebagaimana suatu buah pemikiran, ia bukan sesuatu yang hadir begitu saja di depan mata. Ada proses panjang dan rumit yang dirumuskan oleh sekelompok orang yang disebut sebagai Bapak Bangsa. Mereka berjibaku pikir untuk menghasilkan apa yang akan menjadi dasar negara –yang mana salah satu isi dari dasar tersebut di dalamnya mengatur bagaimana posisi negara hukum yang dipilih.
Penjelasan Jimly Asshiddiqie sangat penting, yang menyebutkan bahwa setiap kurun waktu dalam sejarah memberikan pula kondisi-kondisi kehidupan yang membentuk dan mempengaruhi kerangka pemikiran (frame of reference) dan medan pengalaman (field of experience) dengan muatan kepentingan yang berbeda, sehingga proses pemahaman terhadap suatu ketentuan Undang-Undang Dasar dapat terus berkembang dalam praktik di kemudian hari (Asshiddiqie, 2007).
Saya kira ingatan ini yang menjadi catatan ketika Undang-Undang Dasar 1945 diubah pada tahun 1999 hingga 2002. Penafsiran terhadap Undang-Undang Dasar pada masa lalu, masa kini, dan pada masa yang akan datang, memerlukan rujukan standar yang dapat dipertanggungjawabkan dengan sebaik-baiknya, sehingga Undang-Undang Dasar tidak menjadi alat kekuasaan yang ditentukan secara sepihak oleh pihak manapun juga (Asshiddiqie, 2007).
Jika dilihat lebih jauh, keberadaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan sumber hukum tertinggi di Republik Indonesia sebagai perwujudan dari dasar ideologi negara, yaitu Pancasila. Semua pokok dari suasana kebatinan Undang-Undang Dasar 1945 didudukkan dalam Pembukaannya (Ishaq, 2021).
Proses penempatan tersebut merupakan langkah strategis dalam menjaga Pancasila yang berposisi sebagai sumber segala sumber hukum di Indonesia. Jauh-jauh hari sebelum proklamasi kemerdekaan, banyak hal telah dipikirkan oleh para the founding fathers, dalam rangka menjaga dan membentuk fondasi dalam bernegara yang tidak lapuk di makan zaman.
Selain banyak hal yang dipikirkan dan diperdebatkan, diskursus mengenai pilihan bentuk negara, juga sudah dilakukan para the founding fathers jauh sebelum bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Dengan demikian, teks yang ditegaskan dalam Pasal 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, merupakan teks yang lahir dari saripati pemikiran dari para Bapak Bangsa. Bunyinya: (1) Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik. (2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. (3) Negara Indonesia adalah negara hukum. Untuk bunyi Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), merupakan hasil perubahan ketiga yang terjadi pada tahun 2001.
Perdebatan yang dimaksudkan adalah diawali ketika Mohammad Yamin pada tanggal 29 Mei 1945 menegaskan bahwa Negara Republik Indonesia menolak segala paham (a) federalism (b) feudalism (c) monarki (d) liberalism (e) autokrasi dan birokrasi (f) demokrasi barat. Ada perdebatan dalam penegasan ini, antara lain dalam mempercampurkan segala paham (isme) dengan bentuk negara (Sulardi, tt).
Pendapat lain disebutkan oleh Soepomo yang melihat cita-cita berbeda antara negara Islam dibandingkan negara pesatuan, yang disebutkan sebagai menganjurkan dan mufakat dengan pendirian negara yang bersatu. Pilihan ini terkait dengan kepentingan kelompok-kelompok yang berbeda, sedangkan dalam negara nasional yang Bersatu itu urusan agama diserahkan kepada golongan-golongan agama yang bersangkutan. Selain itu, Soepomo juga menolak dasar individualism dan menolak sistem demokrasi barat (Sulardi, tt).
Selain Soepomo dan Yamin, sejumlah Bapak Bangsa menyampaikan pandangannya tentang negara. Dari berbagai pendapat tersebut, dasar negara kemudian disimpulan tiga soal oleh Soepomo, yakni: Pertama, apakah Indonesia akan berdiri sebagai persatuan negara (eenheidstaat) atau negara serikat (bondstaat) atau sebagai persekutuan negara (statenbond). Kedua, dipersoalkan hubungan antara agama dan negara. Ketiga, apakah republik atau monarki (Kusuma, 2004). Penegasan Soepomo sendiri menyebutkan bahwa jika hendak mendirikan negara Indonesia yang sesuai dengan keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia, maka negara kita harus berdasar aliran pikiran (staatsidee) negara yang integralistik –ide ini sendiri ditinggalkan Soepomo pada 11 Juli 1945 karena berkaitan dengan kesepakatan yang sudah disepakati sebelumnya (Kusuma, 2004).
Selain itu, dalam debat itu sendiri berkembang sejumlah posisi dan pemikiran, misalnya posisi hanya republik, atau ada yang menyebut republik dan monarki berasal dari iblis. Atas berbagai perkembangan tersebut, Yamin menyampaikan empat keberatan. pertama, keyakinan bahwa rakyat Indonesia menghendaki republik dan hanya republik yang memberi jiwa bangsa Indonesia. Kedua, pemerintah negara atas dasar musyawarah dengan pembagian kekuasaan dapat dilaksanakan dalam bentuk negara republlik dengan kepala negara yang dipilih oleh rakyat. Ketiga, agar supaya diakui dan dihormati oleh dunia internasional, negara harus dibentuk dengan syarat kebangsaan dan kemauan rakyat, dan kemauan rakyat adalah republik. Keempat, Yamin tidak menyetujui pernyataan bahwa republik dan monarki berasal dari iblis atau setan (Sulardi, tt).