Saya membaca buku yang ditulis RM. A. B. Kusuma berjudul Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidiki Oesaha-oesaha Persiapan Kemerdekaan. Dalam buku tersebut, banyak hal penting bisa dibaca, terutama terkait dengan bagaimana pikiran tentang negara hukum dari para Bapak Bangsa.
Sebagaimana disebutkan Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, yang memberi pengantar dalam buku tersebut, menyebutkan dengan jelas bahwa dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia merdeka, telah tercatat beberapa upaya pembentukan, penggantian, dan perubahan Undang-Undang Dasar kita.
Jika diurutkan berdasarkan perkembangan politik dan ketatanegaraan, proses pembentukan dan perubahannya, berdasarkan Jimly Asshiddiqie, dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama, pada tahun 1945, Undang-Undang Dasar 1945 dibentuk atau disusun oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sebagai dasar hukum bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Kedua, pada tahun 1949, ketika bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia diubah menjadi negara serikat (federasi), terjadi penggantian konstitusi, dari Undang-Undang Dasar 1945 ke Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949.
Ketiga, perubahan kembali terjadi pada tahun 1950, saat bentuk negara Indonesia diubah lagi dari bentuk negara serikat menjadi negara kesatuan. Dengan demikian, Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949 diganti dengan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950.
Perkembangan mutakhir, sesungguhnya juga dapat diikuti dari proses terjadinya perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada perubahan 1999 hingga 2002. Pada waktu itu, ada sejumlah penambahan dan perubahan yang terjadi dalam Undang-Undang Dasar (MK, 2010).
Selain tiga proses tersebut di atas, masih ada usaha lain yang ingin membentuk satu konstitusi baru dengan dibentuknya satu lembaga yang bernama Konstituante. Ia disebut sebagai Dewan Konstituante yang khusus dibentuk untuk bertugas membentuk undang-undang dasar yang baru. Konstitusi tersebut dimaksudkan sebagai pengganti dari Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950. Dewan ini sendiri terbentuk berdasarkan kekuatan politik dari hasil pemilihan umum pada Desember 1955.
Dewan ini kemudian mengadakan pertemuan dan persidangan sepanjang tahun 1956 hingga 1959, yang ternyata tidak mampu menyelesaikan dengan baik. Dewan ini mengalami perdebatan dasar ideologi negara yang dalam dan mendasar, hingga pada rapat terakhirnya tanggal 2 Juni 1959, perubahan itu tidak mampu dilahirkan. Keberanian Presiden Soekarno yang melihat kondisi tersebut, memutuskan untuk mengeluarkan apa yang disebut sebagai Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959, yang menegaskan kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 sekaligus membubarkan Dewan Konstituante (Maarif, 1985).
Undang-Undang Dasar 1945 pun sesungguhnya dibentuk dengan berbagai pergulatan pemikiran yang terjadi. Seperti disebutkan Jimly Asshiddiqie, sebuah Undang-Undang Dasar tidak dapat dipahami secara utuh hanya dengan membaca teks pasal-pasal yang tertulis saja, akan tetapi perlu dipahami juga suasana kebatinan (geistlichen hintergrund) dari berbagai peristiwa yang terjadi, yang meliputi segenap latar belakang lahirnya pasal-pasal, serta ruang lingkup perdebatan ketika pasal itu dirumuskan (MK, 2010; Asshiddiqie, 2007).
Dengan demikian, dalam penyusunan suatu konstitusi tertulis, nilai-nilai dan norma dasar yang hidup dalam masyarakat dan dalam praktik penyelenggaraan negara turut mempengaruhi perumusan suatu norma ke dalam naskah Undang-Undang Dasar. Itulah yang disebut sebagai suasana kebatinan, yang menjadi latar belakang filosofis, sosiologis, politis, dan historis perumusan suatu ketentuan Undang-Undang Dasar yang perlu dipahami seksama (Asshiddiqie, 2007).
Suasana kebatinan, antara lain konteks bagaimana pokok pikiran yang ada dalam empat Alinea Pembukaan UUD 1945, terkait perwujudan cita-cita hukum yang menguasai hukum dasar tertulis dan hukum dasar tidak tertulis. Ia diwujudkan secara normatif dalam pasal-pasal (Ishaq, 2021).
Begitulah sejarah, proses, dan perkembangan ketatanegaraan yang harus menjadi pemahaman, untuk kemudian kita bisa melihat bagaimana sejarah awal konstitusi itu disusun oleh para Bapak Bangsa.