Buku yang diterbitkan berdasarkan disertasinya di Universitas Padjadjaran, menggambarkan relasi penting pemikiran Profesor Bernard Arief Sidharta dengan gurunya, Soediman Kartohadiprojo. Penekanan bahwa Pancasila yang dikaitkan dengan pembangunan fondasi filsafat ilmu hukum di Indonesia begitu penting. Penekanan ini, antara lain, misalnya disampaikan Anthon F. Susanto dalam tulisan “Menggugat Fondasi Filsafat Ilmu Hukum Indonesia”, yang khusus ditulis untuk buku Butir-butir Pemikiran dalam Ilmu Hukum Memperingati 70 Tahun Prof. Dr. B. Arief Sidharta, SH (Oktaberina & Safitri, 2008; Susanto, 2010).
Dalam buku Refleksi dan Rekonstruksi Ilmu Hukum di Indonesia, Sidharta menulis satu bab dan dalam buku ini ditempatkan pada bab pertama tentang “Struktur Ilmu Hukum”. Dalam bab ini, Sidharta mengulas —antara lain— paradigma ilmu hukum Indonesia. Sidharta berangkat dari uraian bahwa proklamasi dan pembentukan Negara Republik Indonesia yang dituangkan ke dalam Undang-Undang Dasar 1945, membawa perubahan besar di dalam semua aspek kehidupan kemasyarakatan di wilayah yang sebelumnya dinamakan Hindia Belanda. Hal ini juga termasuk dalam penyelenggaraan hukumnya. Dengan itu, secara implisit sudah terjadi perubahan dalam isi cita hukum sebagai dasar yang mempedomani (basic guiding principles) dalam penyelenggaraan hukum di Indonesia. Dengan demikian, pengembanan ilmu hukum di Indonesia sebagai pendamping ilmiah yang membantu dan membimbing pada penyelenggaraan hukum yang kini sudah menjadi ilmu hukum Indonesia, harus disesuaikan pada perubahan yang terjadi (Sidharta, 2012).
Dalam disertasinya, Sidharta sesungguhnya juga sudah menyampaikan berbagai perubahan sosial yang terjadi. Menurutnya, kehadiran bangsa Indonesia yang merdeka itu langsung ditempatkan dalam proses mondial perubahan sosial yang cepat dan semakin cepat. Pemacu utama proses itu adalah perkembangan ilmu dan teknologi yang terjalin dengan pertambahan penduduk, perkembangan ekonomi dan perdagangan. Kenyataan tersebut dan perkembangannya secara langsung mempengaruhi hukum, kehidupan hukum, dengan demikian juga, kebutuhan hukum bangsa —sebagaimana juga dialami oleh bangsa lain (Sidharta, 1999).
Untuk judul bagian ini sendiri sengaja saya sebut pengaruh gagasan Soediman Kartohadiprojo. Alasannya, sejumlah catatan yang disebut di atas, juga ditemukan dalam satu manuskrip bersampul merah yang saya dapat ketika menjelang akhir kuliah magister di Universitas Diponegoro. Manuskrip ini, sepertinya sudah merupakan naskah lengkap untuk sebuah buku. Hanya saja belum diterbitkan secara resmi. Manuskrip ini bertuliskan “Prof. Mr. Soediman Kartohadiprodjo tentang Pancasilan sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia”, bertahun 2009 (Jakarta/Bandung), dan editornya adalah Achmad Suhardi Kartohadiprodjo, Harjono Kartohadiprodjo, Bambang Utoyo Kartohadiprodjo, Budiyono Kartohadiprodjo, dan B. Arief Sidharta.
Namun demikian. Dalam pendahuluan manuskrip ini ditulis: “Buku ini memuat artikel-artikel yang ditulis oleh Prof. Mr. Soediman Kartohadiprodjo, yang kemudian pernah diterbitkan sebagai buku pada tahun 1965 dengan judul “Kumpulan Karangan” oleh Penerbit Pembangunan. Untuk mendukung pokok-pokok pikiran yang mau disampaikan melalui tulisan-tulisan tersebut, maka pada penerbitan ulang buku Kumpulan Karangan tersebut, dengan judul berbeda, maka kumpulan tulisan itu dilengkapi dengan beberapa tulisan atau naskah pidato Ir. Sukarno tentang Pancasila, dan beberapa tulisan lain (antara lain dari Prof. Notonagoro)”.
Berdasarkan jejak-jejak pemikiran, maka apa yang kemudian dikembangkan oleh Sidharta, yang mendalami fundasi kefilsafatan keilmuan hukum Indonesia, sedikit banyak turut dipengaruhi oleh serangkaian pemikiran yang disampaikan oleh gurunya. Salah satu yang saya uraikan di awal bagian ini, sebagaimana dituliskan Prof. Mr. Soediman Kartohadiprodjo pada poin 8 halaman vii menyebutkan: “Filsafat individualism yang betolak dari keyakinan “men are created free and equal”, yang lahir pada zaman Reinassance (dipelopori Rene Descartes dengan titik tolak berpikirnya: cigito ergo sum), kemudian dimantapkan oleh para filsuf penganut aliran naturalisme rasional (Hugo Grotius, Thomas Hobbes, John Locke, Jean-Jaques Rousseau, Montesquieu, dan sebagainya), diterapkan dan dikembangkan ke dalam berbagai bidang kehidupan: politik, hukum, ekonomi, dan berbagai bidang lain termasuk ilmu-ilmu yang mempelajarinya. Pemikiran yang dikembangkan oleh para filsuf tersebut disebut teori kontrak sosial. Pemikiran dalam berbagai bidang kehidupan yang dijiwai oleh individualisme itu selama 200 sampai 300 tahun terakhir mengalami pengolahan, pengembangan, dan pematangan sehingga menghasilkan pemikiran-pemikiran dalam berbagai bidang kehidupan itu yang mengagumkan semua orang terutama kalangan yang terpelajarnya (para intelektual dan elite masyarakat). Juga mengagumkan para intelektual dan elite masyarakat dari kalangan bangsa-bangsa yang pernah mengalami penjajahan oleh bangsa-bangsa Barat. Mereka, yang semuanya juga memperoleh pendidikan dan pengajaran melalui sistem pendidikan Barat yang membentuk pola dan cara berpikir mereka, pada umumnya menghendaki agar apa yang dihasilkan oleh pemikiran Barat itu (yang mencakup berbagai institusi dan organisasi pada semua aspek/bidang kehidupan, termasuk cara bekerjanya) juga diwujudkan di lingkungan bangsanya masing-masing. Demikian juga kaum terpelajar dan elite Indonesia menganut pandangan dam keinginan pada dasarnya sama”.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.