Ada dua tulisan saya terkait bagaimana para tokoh hukum bangsa dan pendiri bangsa berfikir tentang hukum yang akan digunakan: “Gugatan terhadap tradisi hukum” dan “Memilih tradisi hukum”. Dalam dua tulisan tersebut, saya jelaskan betapa pilihan hukum untuk negara yang baru merdeka, waktu itu, diperdebatkan oleh para ahli. Perdebatannya, apakah akan memilih hukum sebagai kelanjutan tradisi hukum sebagaimana yang sudah ada masa Hindia Belanda, ataukah akan kembali ke hukum asli Indonesia. Pilihannya tentu saja bukan pada hukum asli Indonesia, melainkan tradisi hukum Barat sebagaimana telah ada sejak sebelum negara ini merdeka.
Untuk pilihan ini, sebagaimana —istilah yang digunakan oleh Sidharta “pengembanan hukum” setelah terbentuknya Negara Republik Indonesia yang merdeka, dengan pilihan tradisi hukum tersebut, maka pengembanan hukumnya dijalankan di bawah pengaruh paham tentang hukum yang positivistik. Kemerdekaan Indonesia, khususnya dalam konteks hukum, belum membebaskan cara berfikir dari dominasi cara berfikir Barat (Sidharta, 2009).
Titik anjak awal sesungguhnya pada pemahaman terhadap realitas, bahwa proklamasi kemerdekaan dan pembentukan Negara Republik Indonesia yang dituangkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 –sebagai grand design suatu masyarakat dan kehidupan baru di Indonesia—membawa perubahan besar dalam segala aspek kehidupan kemasyarakatan, termasuk hukumnya (Rahardjo, 1998; Sidharta, 2012). Secara implisit, sesungguhnya sudah terjadi perubahan dalam isi cita-cita hukum sebagai basic guiding principles (asas-asas yang mempedomani) dalam penyelenggaraan hukum di Indonesia dan pengembangan ilmu hukum di Indonesia (Dimyati, 2005).
Idealnya Ilmu Hukum Indonesia yang bertugas mendeskripsikan dan menjelaskan kehidupan hukum tidak boleh dipisahkan dari UUD 1945. Ilmu hukum Indonesia –atau tepatnya— ilmu hukum yang berkembang di Indonesia, sejak zaman kolonial hingga zaman kemerdekaan sesungguhnya suatu cabang pemikiran epistemik-filsafati yang perkembangannya dapat dilacak kembali ke awal-awalnya pada tradisi pemikiran hukum Eropa Barat (Wignjosoebroto, 1998; Wignjosoebroto, 2002). Namun demikian paradigma yang dapat ditangkap dari UUD 1945 antara lain: (a) Ketuhanan Yang Maha Esa; (b) Kemanusiaan; (c) Persatuan; (d) Kerakyatan; (e) Keadilan Sosial; (f) Kekeluargaan; (g) Harmoni; (h) Musyawarah (Rahardjo, 1998).
Dengan demikian mendudukkan pembangunan ilmu hukum Indonesia, pada dasarnya ingin membedakan dari corak berfikir Barat dalam hukum. Ilmu Hukum Indonesia menempatkan Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai landasan kefilsafatan yang mendasari dan menjiwai penyusunan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam UUD itu. Konsep ini mempertegas bahwa penyusunan dan penerapan tata hukum di Indonesia harus dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila (Sidharta, tt). Sebagaimana pemikiran A. Gunawan Setiardja dalam bukunya Filsafat Pancasila, disebutkan bahwa Pancasila sebagai cita hukum yang berakar dalam pandangan hidup, yang dengan sendirinya akan mencerminkan tujuan menegara dan nilai dasar yang tercantum dalam Pembukaan, Batang Tubuh serta Penjelasan UUD 1945 (Setiardja, 2007). Pandangan Pancasila bertolak dari keyakinan bahwa alam semesta dengan segala isinya, sebagai suatu keseluruhan terjalin secara harmonis, diciptakan oleh Tuhan. Kehadiran manusia di dunia dikodratkan dalam kebersamaan dengan sesamanya, namun tiap manusia memiliki kepribadian yang unik yang membedakan satu dari yang lain (Kartohadiprodjo, 2009).