Dalam menyelenggarakan otonomi yang seluas-luasnya itu, masyarakat Aceh memiliki peran serta, baik dalam merumuskan, menetapkan, melaksanakan maupun dalam mengevaluasi kebijakan pemerintahan daerah. Undang-Undang ini mengatur dengan tegas bahwa Pemerintahan Aceh merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tatanan otonomi seluas-luasnya yang diterapkan di Aceh berdasarkan Undang-Undang ini merupakan subsistem dalam sistem pemerintahan secara nasional. Dengan demikian, otonomi seluas-luasnya pada dasarnya bukanlah sekadar hak, tetapi lebih dari itu yaitu merupakan kewajiban konstitusional untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan di Aceh.
Menurut Pasal 7 UUPA sebagai pasal yang menegaskan kewenangan, disebutkan:
- Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah.
- Kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama.
- Dalam menyelenggarakan kewenangan pemerintahan yang menjadi kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dapat:
- melaksanakan sendiri;
- menyerahkan sebagian kewenangan Pemerintah kepada Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota;
- melimpahkan sebagian kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah dan/atau instansi Pemerintah; dan
- menugaskan sebagian urusan kepada Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dan gampong berdasarkan asas tugas pembantuan.
Dalam rangka implementasi ketentuan-ketentuan tersebut di Aceh dibutuhkan ketentuan-ketentuan pada tataran pelaksanaannya baik berupa regulasi-regulasi penunjang yang dikeluarkan oleh Pemerintah maupun aturan-aturan yang dikeluarkan sebagai produk hukum daerah.
Berdasarkan penjelasan tersebut, tergambar bahwa pengakuan Negara atas keistimewaan dan kekhususan daerah Aceh adalah sesuatu yang nyata, terutama setelah disahkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006. Ada lima penegasan penting yang harus dijunjung berkaitan dengan status khusus Provinsi Aceh, yakni sebagai berikut:
- Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem NKRI berdasarkan UUD Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.
- Tatanan otonomi seluas-luasnya yang diterapkan di Aceh berdasarkan UU Pemerintahan Aceh ini merupakan subsistem dalam sistem pemerintahan secara nasional.
- Pengaturan dalam Qanun Aceh maupun Kabupaten/Kota yang banyak diamanatkan dalam UU Pemerintahan Aceh merupakan wujud konkret bagi terselenggaranya kewa-jiban konstitusional dalam pelaksanaan pemerintahan tersebut.
- Pengaturan perimbangan keuangan pusat dan daerah tercermin melalui pemberian kewenangan untuk pemanfaatan sumber pendanaan yang ada.
- Implementasi formal penegakan syari’at Islam dengan asas personalitas ke-Islaman terhadap setiap orang yang berada di Aceh tanpa membedakan kewarganegaraan, kedudukan, dan status dalam wilayah sesuai dengan batas-batas daerah Provinsi Aceh.
Pengakuan sifat istimewa dan khusus oleh Negara kepada Aceh sebenarnya telah melalui perjalanan waktu yang panjang. Tercatat setidaknya ada tiga peraturan penting yang pernah diberlakukan bagi keistimewaan dan kekhususan Aceh yaitu Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1959 tentang Keistimewaan Provinsi Aceh, UU 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh, dan UU 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dengan dikeluarkannya UU Pemerintahan Aceh, diharapkan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan di Aceh untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan di Aceh.