Ada masalah yang muncul belakangan, apakah UUPA itu perlu diubah? Dengan berbagai risiko dan peluang. Risiko, karena UU ini terkait dengan damai, jika tidak hati-hati, takutnya kewenangan yang ada keluar. Tapi ada beberapa alasan yang harus dilihat, yakni: Pertama, tentang adanya perubahan dana otonomi khusus yang akan diterima Aceh; kedua, ada sejumlah pasal yang sudah dibatalkan MK; Ketiga, Peraturan yang dipermasalahkan bertentangan dengan undang-undang sektoral; Keempat, UUPA yang tidak diterapkan; Kelima, ketentuan yang belum diselesaikan; Keenam, ketentuan sektoral mengenyampingkan UUPA.
Salah satu hal penting sebagaimana diatur dalam Pasal 183 UUPA, yang menegaskan dana otonomi khusus dan jangka waktunya. Dana otonomi merupakan penerimaan Pemerintah Aceh yang ditujukan untuk membiayai pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan. Dana otonomi khusus berlaku untuk jangka waktu 20 tahun, dengan rincian untuk tahun pertama sampai dengan tahun ke-15, besarnya setara dengan 2% plafon Dana Alokasi Umum Nasional. Untuk tahun ke-16 hingga tahun ke-20, besarnya setara dengan 1% plafon Dana Alokasi Umum Nasional.
Posisi inilah yang dibutuhkan revisi jika Aceh ingin mendapatkan dana otonomi khusus sebagaimana dari awal. Hal ini penting agar dana sebagaimana sebelumnya tetap ada dan jumlahnya tidak berubah.
Untuk sejumlah pasal yang sudah dibatalkan MK, dengan berbagai alasan, misalnya dalam Pasal 256 UUPA ditegaskan bahwa “Ketentuan yang mengatur calon perseorangan dalam pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, atau Walikota/Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf d, berlaku dan hanya dilaksanakan untuk pemilihan pertama kali sejak Undang-undang ini diundangkan”.
Ketentuan Pasal 256 UUPA yang membatasi calon perseorangan hanya untuk 1 (satu) pemilihan kepala daerah di Aceh dibatalkan dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-VIII/2010 tanggal 20 Desember 2010. Dengan adanya pembatalan tersebut maka calon perseorangan dapat mengikuti Pilkada Aceh seperti daerah di lain di Indonesia.
Selain putusan MK tersebut, ada Putusan MK lainnya, Nomor 51/PUU-XIV/2016 yang antara lain memperbaiki atau mengubah redaksi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 67 ayat (2) huruf g. Sebenarnya yang digugat waktu itu bukan hanya untuk huruf g ini, namun ditolah oleh Majelis Hakim.
Terkait peraturan yang dipermasalahkan bertentangan dengan undang-undang sektoral, terutama terkait dengan Qanun Bendera yang hingga saat ini masih diperdebatkan dan belum ada solusi dalam hukumnya. Pasal 246 dan 247 UUPA menyebutkan bahwa Pemerintah Aceh dapat memiliki bendera, lambang dan himne. Berdasarkan ketentuan ini, Pemerintahan Aceh membentuk Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh. Qanun ini mengatur bendera dan lambang Aceh yang menyerupai bendera dan lambang Gerakan Aceh Merdeka. Hal ini ditolak oleh Pemerintah Pusat karena dianggap bertentangan dengan PP Nomor 77 Tahun 2008 tentang 2007 tentang Lambang Daerah. Atas dasar itulah, Pemerintah meminta diubah, sedangkan Aceh memilih mempertahankan sehingga sampai sekarang masih berdebat.
Kondisi ini juga perlu dibicarakan kembali dengan baik agar proses damai yang sudah berjalan tidak terganggu dan akan tetap berjalan dengan baik sebagaimana yang dicita-cita dalam proses damai Aceh.