Saya sering membaca berita mengenai alasan kebanggaan sangat dominan bagi mereka yang berusia muda merokok. Ketika dikaitkan dengan rasa, tentu ada sensasi psikologis yang mungkin sulit bisa digambarkan. Bagi mereka itu mudah. Dengan ada yang lihat bahwa mereka layak orang dewasa, maka sepertinya mereka sudah mendapatkan rasa psikologis yang dimaksud.
Perasaan bangga dan semacamnya, saat melakukan sesuatu yang berpotensi merugikan kesehatan, adalah jalan mundur. Orang-orang yang mempersiapkan masa depannya, seyogianya memilih cara-cara hidup sehat. Tidak sembarangan. Dengan menjaga diri, akan memudahkan menjalani proses kehidupan.
Ada sejumlah informasi tambahan yang saya dapat, Suatu siang, saya berkesempatan duduk sebentar sama sekelompok remaja. Masih memakai baju sekolah, putih-biru. Awalnya saya mengira sekarang sedang masa libur sekolah. Makanya heran, mengapa ada remaja yang masih bersekolah. Rupanya belum. Keheranan saya yang kedua, karena anak-anak kecil itu, merokok begitu tenang.
Bagi saya, mungkin ini keliru, perilaku orang yang tenang menggambarkan bahwa perbuatan (merokok) itu sebagai sesuatu yang biasa, sehingga seseorang bahkan tidak merasa takut atau bahkan segan untuk orang-orang tertentu lainnya.
Ketika saya kecil, orang tertentu itu, terutama orang tua, kemudian guru. Mereka sebagai orang yang paling kami takut, bukan segan. Takut karena anak-anak yang merokok akan mendapatkan hukuman –bentuknya bisa berbagai macam. Kalau segan, mungkin hanya sekedar memindahkan tempat.
Fenomena ini saya lihat di sini. Ketika anak-anak merokok dengan santainya. Karena di sini tidak semua siswa memakai celana panjang, maka berbagai jenis kulit bisa terlihat, lengkap dengan berbagai langgam. Maksud saya bekas-bekas parut. Akan tetapi ada sebagian anak yang sudah beda.
Dengan celana pendek, saya juga tahu jenis sepatu dan kaus kaki yang mereka pakai. Mereka menyukai kaus kaki yang pendek sekali. Kaus kaki jenis ini sebenarnya untuk perempuan. Entah apa yang menyebabkan ada anak yang suka dengan jenis ini. Khusus mengenai kaus kaki yang panjang atau pendek, sebenarnya bukan sesuatu yang tabu untuk dipertukarkan. Tetapi lupakanlah tentang itu.
Nah, ketika sedang duduk sebentar itulah, saya tertarik menanyakan tentang rokok ke remaja itu. Bagi saya menarik, terutama mengenai misalnya apakah orang tua mereka tahu kalau mereka merokoh. Pertanyaan lain, merokok itu sudah pasti menggunakan uang yang diberikan orang tua, apakah mereka tidak merasa bersalah tidak menggunakan uang sebagaimana mestinya. Ada satu pertanyaan di antara mereka yang masih sangat saya ingat: apakah kami tidak boleh merokok karena kami masih kecil?
Saya langsung teringat apa yang diingatkan oleh orang yang lebih tua, agar sebelum kerja, jangan merokok dulu. Masalahnya ternyata bukan pada masalah sudah kerja atau belum. Tentu kerja atau belum akan berkonsekuensi pada pemasukannya. Secara ekonomi, kebutuhan untuk rokok akan terpenuhi bagi mereka yang kerja. Jangan lupa sejumlah survei, bahwa orang-orang yang morat-marit pun, sepertinya untuk kebutuhan rokok selalu terpenuhi. Bukankah ini juga satu fenomena tersendiri?
Makanya saya beranjak bahwa merokoh bukan masalah tua atau muda. Merokok akan berimplikasi lebih jauh bagi kesehatan. Saya justru berhasil berhenti merokok dengan mengingat fungsi kesehatan ini. Saya pernah menjadi perokok berat, yang bisa menghabiskan empat bungkus sehari-semalam. Akhirnya tersadar bahwa implikasinya sangat serius. Dengan kesadaran ini saya bertekad. Pada posisi demikian, sungguh tidak sulit untuk berhenti merokok.
Hal ini saya ceritakan pada remaja-remaja hebat yang saya duduk bersama mereka. Saya tidak ingin beralasan lebih jauh. Yang sangat penting adalah, mereka –atau siapapun yang merokok—harus sadar akan implikasi kesehatan ini. Pada level kedua, mereka harus sadar bahwa rasa seolah-olah perokok itu lebih hebat dari yang tidak merokok, itu semua palsu. Remaja itu seperti merasa sesuatu yang berbeda.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.