Bulan ini sangat penting. Orang-orang yang merinduinya sejak dari awal datangnya, sudah mempersiapkan diri. Orang yang begini, kekuatan yang digunakan terkesan melampaui dari kekuatan yang dimiliki.
Semalam, saat mendengar ceramah tarawih, teungku menyebut kekuatan tersembunyi ini. Penceramah bahkan mem-bandingkan bagaimana orang-orang yang mampu duduk berjam-jam hanya dengan segelas kopi –atau malah kopi pancung, setengah gelas. Sementara banyak orang yang tidak tenang saat mendengar ceramah yang beberapa puluh menit saja.
Bayangkanlah bagaimana orang yang mempersiapkan diri mampu ikut shalat malam dengan penuh bahagia. Orang-orang yang tidak mampu demikian, biasa jadi sedang ada masalah dalam dirinya. Satu kemungkinan karena masih belum sepenuhnya mampu meninggalkan kemungkaran, menjadi salah satu sebab tidak bisa menikmati saat beribadah.
Saya tidak ingin bercerita bagaimana substansi ceramah. Kondisi tampilan dari orang-orang yang ikut ceramah merupakan satu potret untuk melihat bagaimana orang seharusnya beribadah dengan penuh bahagia. Kesan lebih bahagia ini yang umumnya kita lihat dari mereka yang sudah berumur lebih tua.
Pertanyaan bisa saja dimunculkan. Apa yang Anda bayangkan ketika shalat, lalu di sekeliling kita berdiri orang-orang yang sudah berusia lanjut? Hal yang tampak, nyata, gerakan mereka yang tidak lagi lincah. Lalu orang-orang yang demikian biasanya menghiasi saf depan. Sedangkan kita, orang-orang yang masih muda, lebih memilih untuk berdiri dari saf belakang –atau sebagian malah berdiri di luar tidak ikut dalam shalat jamaah.
Barangkali orang muda berpikir waktunya masih panjang. Sebaliknya orang tua adalah mereka yang selalu menghitung seolah usia mereka sudah begitu dekat. Padahal belum tentu. Orang yang masih muda bisa finis hidupnya kapan saja, demikian juga yang sudah tua.
Hanya saja sangat berlebihan, sekiranya pada usia senja saja sudah tidak bergerak untuk memperbanyak perbuatan baik. Kelewatan kalau sudah berusia lanjut, tapi masih belum mau menegakkan yang makruf dan menjauhi yang mungkar.
Selain pikiran semacam itu, bisa lahir dan tertanam di benak apa saja. Suatu waktu ketika shalat tarawih, saya pernah diapit oleh dua orang yang hampir uzur. Seorang mantan petinju, dan seorang lagi, pensiunan yang sudah bertongkat. Dua-duanya setiap malam ke masjid tanpa didampingi oleh anak atau cucunya.
Terus terang saya tidak bisa membandingkan seukuran siapa umur orang ini dengan orang tua-orang tua yang di kampung saya. Rasanya sudah sedikit orang yang tua di kampung-kampung. Tidak seperti di tempat saya tinggal kuliah. Saya mendapati banyak orang yang sudah berusia lanjut, namun juga masih sehat secara fisik –mudah-mudahan juga mentalnya.
Beberapa mbah, saya kenal. Bahkan di dekat masjid, ada seorang perempuan tua yang membantu berjualan tetangganya. Di jalan masuk lorong, seorang nenek membantu anaknya mengelola warung. Belum lagi sebuah pendidikan usia dini, juga nenek turut berperan langsung bersama anaknya.
Jika dibandingkan dengan orang tua di tempat lain, umur demikian sudah banyak tidak bisa berbuat apa-apa. Kemana-mana sudah dijaga. Pada umur segitu, memang sudah kembali seperti masa kecil, sudah banyak tidak bisa membedakan berbagai hal. Namun kenyataan di sini, justru banyak yang masih bisa berkomunikasi dengan normal. Pernah dalam angkutan kota, ada yang membawa bakul ke pasar. Sejumlah orang juga terlihat berbelanja. Luar biasa sekali.
Dengan kenyataan demikian, maka posisi saya yang diapit saat shalat suatu malam itu, sesungguhnya bukan sesuatu yang luar biasa, jika dilihat di sini. Namun jika saya bandingkan dengan kampung halaman, maka itu sungguh luar biasa. Dalam beberapa malam terakhir, saya menyaksikan dua orang ini selalu memilih saf depan. Walau ketika rukuk dan sujud bergerak pelan, ia melakukannya dengan maksimal. Begitu juga ketika bangun, ia juga berusaha keras. Ia malah tidak memakai fasilitas apapun yang boleh digunakan dalam shalat: sambil duduk, atau memakai kursi sekiranya lutut sudah kurang mampu. Tidak. Dua orang ini tidak memakainya. Dalam barisan depan, orang tua ini bertenaga persis seperti mereka yang masih muda. Setidaknya dilihat dari tenaga. Jika dilihat dalam hal yang lain, mungkin akan berbeda.
Tenaga tua dan muda bisa dibandingkan. Namun ketika tenaga tua dan muda itu dipergunakan, tidak jarang, dalam hal yang saya sebut di atas, yang muda malah kalah jauh. Tidak sedikit mereka yang masih muda meninggalkan shalat begitu saja. Tak saja shalat jamaah, tak pula shalat sunat, bahkan ada yang tidak terbeban meninggalkan shalat wajib.
Untuk mengurai masalah ini, tak hanya mengurai masalah semangat. Ada masalah hakiki juga yang tidak boleh dilupakan. Termasuk di daerah kita yang orang demikian mudah melakukan hal-hal yang tidak semestinya. Untuk hal ini harus diingatkan. Dalam hal tertentu, kadang kita harus belajar banyak dari orang lain. Apa yang kita banggakan bisa jadi sesuatu yang kita justru tidak lakukan. Ketika ada orang yang merasakan kerinduan datang untuk merasakan apa yang kita banggakan itu, justru kadangkala kita sendiri yang kecewa.
Bulan ini seharusnya bisa menjadi momentum untuk memperbaiki diri secara total. Termasuk dalam hal menjaga konsistensi dan semangat yang berkobar. Jangan sampai semangat dan tenaga orang muda jauh lebih tertinggal dari mereka yang sudah lebih tua. Apalagi dari orang yang sudah tampak uzur.