Ada yang berbeda ketika menyebut waktu sisa dan sisa waktu. Seperti dalam sebuah pertandingan, biasanya waktu sisa akan digunakan dengan melambat-lambatkan. Ada kesan pesimis bagi mereka yang melakoni. Seolah dalam waktu itu, suasana sudah tidak mungkin dikejar sebagaimana yang diinginkan. Sebaliknya, tim-tim dalam pertandingan yang beranggapan sekecil apapun sebagai sisa waktu, selalu berpotensi untuk mengubah keadaan. Tidak jarang, pada waktu yang secuil bisa mengubah secara hakiki hasilnya.
Tidak bisa dianggap sederhana untuk mereka yang selalu berkomitmen menjaga sisa waktunya. Semua waktu tidak dianggap sebagai sisa, melainkan harus selalu dimanfaatkan secara optimal untuk tujuan meraih kemenangan. Bahkan di menit akhir pun, potensi untuk mengubah keadaan ke arah yang lebih baik dan berkualitas, selalu memungkinkan dicapai.
Siapa yang mau mencapai hasil yang demikian? Tentu ada syarat. Satu yang penting adalah menjaga semangat pantang menyerah. Jalan kebaikan bisa selalu dilakoni dengan stabil, dengan catatan semangat selalu dijaga dengan baik. Hal-hal yang bisa mengganggu semangat akan dijaga. Orang-orang yang berjiwa petarung akan mampu mencapai hasil yang berkualitas.
Masalahnya adalah tidak semua orang mampu menjadi petarung. Bulan yang penuh rahmat ini sekalipun, yang setiap detik waktu yang dilewati bisa bernilai ibadah, namun banyak orang lebih memilih jalan berbeda. Jalan di luar dari bertarung. Dalam masyarakat berkembang istilah dengan “melalaikan puasa”. Maksudnya mencari aktivitas yang dianggap “menyenangkan” untuk membiarkan waktu berlalu begitu saja. Hal yang ingin dirasakan adalah perjalanan waktu yang cepat dan seolah tidak terasa, hingga berbuka.
Soal menyenangkan ini, dikonstruksi sendiri oleh mereka yang menginginkannya. Ironis bila yang dimaksudkan dengan menyenangkan itu dalam hal duniawi. Jalan-jalan untuk meng-habiskan waktu. Apalagi ketika menjelang berbuka, diciptakan suasana yang sebagiannya justru akan banyak menghabiskan pahala puasa yang dijanjikan. Untuk semangat petarung ini, tidak selalu dimiliki oleh orang dewasa. Semangat ini pun dimungkin-kan dimiliki oleh mereka yang masih anak-anak. Tentu, dengan polanya sendiri.
Dalam bulan puasa, ketika suatu waktu merasakan telah tiba waktu pemunculan semangat beetarung ini, dari seorang kemenakan. Salah seorang kemenakan tiba-tiba menelepon selepas buka puasa. Ia mengabarkan sudah membaca al-Quran sampai juz terakhir menjelang subuh.
Ini luar biasa bagi seorang anak yang masih tertatih-tatih bacaannya. Dengan waktu yang banyak di rumah, memungkinkan ia menyelesaikan satu juz lebih tiap harinya. Mengingat waktu yang dilalui belum mencapai akhir puasa. Jika rata-rata dalam satu juz sejumlah 20 muka halaman, berarti ia menghabiskan sekitar 25 muka perhari. Jika dibagi lima waktu shalat, ia menunaikan bacaan sebanyak lima muka. Sekali lagi, ini luar biasa bagi seorang anak yang masih sekolah dasar. Sebaliknya, bagi sebagian orang dewasa, ini biasa saja.
Sesungguhnya, jika ditilik-tilik, bagi orang dewasa juga tidak biasa. Banyak orang dewasa yang bahkan belum menyelesaikan bacaannya. Orang dewasa yang demikian, mungkin banyak menghabiskan waktunya di warung kopi, sehingga begitu selesai shalat lima waktu, selalu ada agenda. Seolah ada jadwal yang sudah tersusun sedemikian rupa.
Bahkan setelah tarawih, sebelum sempat berinteraksi dengan orang-orang penting di sekelilingnya, justru sudah berada di warung kopi, ada yang hingga menjelang sahur. Beruntung dalam bulan ini, tidak banyak tontonan sepak bola yang biasanya sambung-menyambung hingga menjelang pagi.
Dengan berbagai agenda tersebut, membuat kesibukan orang dewasa banyak yang tersita untuk hal demikian. Sehingga, seperti kemenakan saya yang sempat menyelesaikan lima muka sehabis setiap lima waktu shalat wajib, tidak bisa diselesaikan.
Jika dihitung dengan waktu yang dihabiskan sebanyak lima muka tersebut, mungkin berbeda-beda. Orang yang sudah sedikit lebih lancar, lima muka bisa dibaca dalam waktu maksimal 10 menit. Berbeda dengan orang yang masih tersendat-sendat, barangkali bisa mencapai waktu 15 menit saja. Seharusnya, waktu lima menit ini bukanlah waktu yang lama. Namun itu kata sebagian, sedangkan mereka yang padat agenda, tentu waktu segitu akan dipandang berbeda. Waktu yang dihabiskan oleh mereka yang masih tertatih-tatih, bisa berbeda lagi. Mereka mungkin bisa menghabiskan hingga 45 menit. Lalu dengan bayangan demikian, masihkah kita terlalu banyak menghitung-hitung?
Kenyataannya kita memang banyak menghitung, dalam hal apapun. Untuk kepentingan dunia, kita memiliki agenda yang padat, sepadat-padatnya. Bahkan atas alasan kepentingan dunia itu, ketika menunaikan shalat pun kita melakukannya dengan terburu-buru. Sangat tergesa-gesa. Berhenti sejenak selesai shalat, semacam berkontemplasi dan merangkai doa-doa, sepertinya tidak sempat.
Begitulah perbandingannya. Jika diibaratkan bagaimana waktu dihabiskan, dengan jadwal yang tersusun, sungguh banyak kita yang menyiapkan jadwal kepentingan dunia jauh lebih lengkap ketimbang untuk kepentingan hidup setelah dunia. Berbagai hal yang ingin kita lakukan, sudah tersusun demikian lengkap. Persiapan dilakukan dengan sempurna. Berbeda dengan ketika melakukan sesuatu yang terkait kepentingan kita sendiri untuk kehidupan setelah dunia. Padahal nyata sekali peringatan Pencipta, bahwa justru akhirat itulah yang akan kita tuju, sedangkan dunia hanya ruang senda gurau dan seperti permainan.
Hal-hal yang sangat hakiki tiba-tiba teringat dalam ketika ada anak kecil yang bisa melakukan sesuatu yang melebihi dari apa yang bisa dilakukan kita yang dewasa. Mudah-mudahan momentum yang sedang kita hadapi ini, tidak berlalu begitu saja dalam kehidupan kita.