Senjata

Dengan jumlah korban perang dan konflik yang terjadi, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa waktu itu, Kofi Anan, pernah menyebut abad ke-20 sebagai abad yang kejam. Ia sebut itu sesaat sebelum akhir abad ke-20, memasuki abad ke-21. …

Dengan jumlah korban perang dan konflik yang terjadi, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa waktu itu, Kofi Anan, pernah menyebut abad ke-20 sebagai abad yang kejam. Ia sebut itu sesaat sebelum akhir abad ke-20, memasuki abad ke-21. Abad yang meninggalkan banyak kengerian, dengan berbagai perang dan kekerasan, yang sebagiannya mengusung alasan kemanusiaan. Kebiadaban berlangsung di banyak tempat.

Barangkali Kofi Anan, sekiranya masih menjabat jabatan tersebut, akan menyebut saat sebagai waktu yang tidak kalah mengerikan. Dalam waktu singkat, berbagai konflik dan perang menghabiskan berjuta jiwa manusia. Tidak hanya mereka yang sudah dewasa. Anak-anak bahkan mereka yang seharusnya mendapat perlindungan dari perang, tidak luput dari berbagai perilaku keji mereka yang sepertinya sedang meneguhkan kekuasaannya.

Senjata yang jelas-jelas dilarang tetap digunakan. Senjata kimia, digunakan bahkan mengorbankan tidak terhitung anak-anak. Kekerasan yang terjadi di banyak tempat dan banyak negara, juga tidak terhitung jumlah mereka yang menjadi korban. Dari segi segi pelaku, ada yang bisa dilacak, ada yang tidak. Mereka yang terlacak pun, ada yang bisa dijangkau lalu ditangkap dan diadili, pun tak sedikit, yang tidak tersentuh, dengan berbagai alasan. Belum lagi mereka yang memiliki kekuatan tertentu.

Untuk semua penjahat, dunia sudah menyediakan aturan mainnya sejak lama. Hukum yang secara normatif disebutkan bisa menjangkau apapun dan siapapun, akan tetapi secara sosiologis, dalam realitas, hukum itu tidak sepi menjadi bahan mainan. “Tidak ada seorang pun di dunia ini yang kebal hukum karena kejahatan terhadap kemanusiaan,” begitu kira-kira pernyataan petinggi PBB, saat sekitar Januari 1994, lembaga International War Crimes Tribunal (Mahkamah Internasional bagi Penjahat Perang), dihadirkan. Lembaga ini berada di bawah Dewan Keamanan PBB, guna melengkapi kekurangan yang dihadapi International Court of Justice yang tidak bisa mengadili individu.

Dunia internasional menampakkan gejala ketertinggalan hukum. Abad ke-20, ternyata di samping banyak usaha mengorbankan manusia dengan konflik dan perang, ada juga usaha untuk menghormati kemanusiaan itu sendiri. Ini terjadi saat-saat Serbia sedang berulah di Sarajevo, Bosnia. Banyak warga sipil di bekas Yugoslavia itu, dibantai dalam rentang waktu 1988-1995.

Abad ke-20 sudah kita tinggalkan, namun noda hitam dalam sejarah kemanusiaan yang berlalu dengan alasan kemanusiaan pula, tak mudah dihapuskan. Paling tidak, segala kekejaman manusia kepada manusia yang terjadi sepanjang abad ke-20, menjadi catatan sejarah yang paling kelam masa selanjutnya. Dari perjalanan sejarah itu, memang tak jarang melahirkan kemanusiaan yang lain. Politik antiras, aphertheid, di Afrika Selatan dengan munculnya Nelson Mandela, menjadi salah satu contoh. Namun bila kita bandingkan secara menyeluruh, keberhasilan itu belumlah apa-apanya. Kekejaman terhadap suku-suku asli di negara yang diklaim beradab, tergambar betapa hitam-putih beradab-biadab. Belum lagi perlakuan negara-negara maju terhadap negara-negara miskin dan pengutang, juga tidak kalah rendahnya dari aspek kemanusiaan.

Tahun 2001, dunia digoncang dengan tragedi World Trade Centre (WTC) yang menewaskan lebih 6.000 orang pada 9 September. Tragedi ini telah menjadi titik awal kembali untuk memulai perang atas nama kemanusiaan. Memerangi terorisme. Maka, seperti yang dilakukan negara-negara besar terhadap sejumlah negara yang diklaim sebagai penyimpan teroris, bukanlah perang berupa suatu kejahatan. Atas nama terorisme, perang itu sudah menjadi halal, walau di banyak negara mendapat gugatan. Apa yang terlihat hingga kini? Perlawanan terhadap perang atas teror dan terorisme, juga dilakukan dengan alasan yang halal. Ada yang memerangi teror dan terorisme, dan ada yang melawan terhadap upaya memerangi teror.

Bukankah seharusnya manusia belajar, bahwa perang terhadap teror dan terorisme, dan mereka yang melawannya, tidak analog dengan penghancuran terhadap kemanusiaan?

Leave a Comment