Mengacu pada perbedaan pemaknaan kemanusiaan, dapat disimpulkan sementara, bahwa proses sejarah tujuh dekade terakhir, pasca Perang Dunia II, dimana dengan konflik dan perang di seluruh dunia yang telah menelan lebih 30 juta manusia, semua mengatasnamakannya demi kemanusiaan. Namun, barangkali ada yang lupa, bahwa konflik dan perang bukanlah jalan yang menusiawi untuk mencapai kemanusiaan. Proses pemanusiaan yang demikian sangat miris, dan akan mengubah persepsi orang tentang bagaimana membangun manusia.
Saya beranggapan bahwa cara-cara demikian justru tidak manusiawi. Saya tidak bisa mengukur seberapa banyak orang yang berpikir seperti saya. Namun saya yakin ada. Ketika negara-negara besar ingin melakukan invasi ke negara lain, dengan berbagai alasan, saya menyaksikan melalui jaringan televisi, bahwa tetap ada yang berujuk rasa untuk menolak cara-cara demikian. Bagi saya, posisi demikian cukup jelas, bahwa ada orang yang menolak, walau dari segi jumlah, apalagi persentase, tidak bisa diketahui.
Penolakan terhadap sesuatu, selama ini juga bisa menggunakan software tertentu yang sudah tersedia. Orang bisa memberikan suara, dan ini akan menentukan bagaimana suatu keputusan akan diambil. Keputusan yang diambil, kebanyakan orang bertumpu pada sejumlah apa orang yang menginginkannya. Dalam hal tertentu, terutama hal semacam ini, disebut demikian. Pada saat yang sama, untuk hal yang lain, posisi bisa berbeda.
Begitulah, saya ingin menegaskan bahwa itu bukan proses yang manusiawi. Namun demikian, perang dan konflik, berlangsung sepanjang sejarah dengan implikasi yang mengerikan. Ada yang berlangsung dalam satu negara, dan sekarang kita bisa menyaksikan betapa banyak konflik dan perang berlangsung juga beberapa negara sekaligus.
Pada tahap ini, orang juga terbelah menanggapinya. Ketika untuk kepentingan global, tidak masalah satu atau beberapa negara melakukan invasi ke negara lain. Padahal sama-sama negara berdaulat. Lantas apa beda dengan sejarah Proyek Manhattan, yang dibangun sejak seabad lalu, yang akan dipergunakan lintas negara? Dan proyek itu juga menjadi salah satu persiapan untuk membuahkan proyek perang yang dilakukan atas nama kemanusiaan?
Atau jangan-jangan ada hal lain yang selama ini berlangsung? Negara besar yang sedang berkeinginan memanusiakan negara-negara kecil dengan bahasa senjata? Kesan itulah yang setidaknya dapat saya tangkap melalui sejumlah kasus pengejaran terhadap peneror pasca serangan teror 2001. Sejumlah negara besar menguasai sejumlah negara kecil yang dianggap sebagai tempat para peneror, lalu setelahnya ditinggalkan begitu saja dengan kondisi yang rusak-ruyak.
Munculnya fenomena semacam ini, lalu muncul sejumlah ekses, misalnya apa yang terjadi di Guantanamo dan Abu Ghraib, menjadi sesuatu yang tidak patut ditangisi. Untuk negara kecil, negara besar mengajari dan mendikte bagaimana memanusiakan manusia melalui konsep hak asasi manusia. Sebaliknya, ketika proyek-proyek negara besar terang-benderang menampakkan sebaliknya, sungguh negara-negara kecil hanya perlu manut-manut saja. Tidak bisa tidak.
Ada analisis lain yang tidak kalah menarik. Negara-negara kecil tidak boleh memiliki senjata berlebih atau modern. Negara besar akan gundah dengan keberadaan senjata di negara kecil. Maka penyerangan negara besar terhadap negara kecil yang dituduh memiliki senjata pemusnah massal, menjadi sah dan tidak patut digugat, walau sesudah penyerangan tidak ditemukan apa-apa.
Dunia dalam waktu tertentu terlihat tidak manusiawi. Kegelisahan yang muncul adalah jangan-jangan seperti sebelum Perang Dunia II, persaingan senjata menjadi salah satu punca krisis dunia di abad ini? Semua pihak mengusung alasan kemanusiaan. Ada perang untuk memanusiakan, mudah-mudahan bukan semacam perang memusnahkan senjata pemusnah massal.
Nah, bukankah tragedi hancurnya 50 juta lebih penduduk bumi sepanjang 1939-1945 termasuk untuk korban atas nama kemanusiaan? Abad modern sekalipun, seyogianya akal sehat harus dirawat.