Apa yang kita hadapi dalam hidup ini, pada dasarnya sudah tercatat dalam Lauh Mahfudz. Lantas mengapa tidak orang mampu menerimanya dengan lapang dada? Ada faktor lain yang menyebabkan demikian. Salah satu yang penting, tidak yakin pada apa yang akan didapat.
Seorang manusia memiliki kewajiban untuk berikhtiar dan berusaha. Doa dibutuhkan, disamping usaha sebagai media aplikasinya. Usaha tanpa doa menyebabkan seseorang sombong. Namun doa tanpa usaha juga akan menjerumuskan orang pada posisi ketidakberdayaan.
Ketidakyakinan ini yang menyebabkan banyak hal. Kadangkala tidak kita sadari, hal-hal besar terjadi di sekitar kita. Pemicunya bisa jadi hal-hal kecil yang tidak kita duga. Seseorang bisa melakukan sesuatu yang serius hanya karena ia merasa bahwa orang lain sebagai lawan yang harus diperhitungkan. Orang yang semacam ini akan selalu melihat orang yang disekelilingnya sebagai saingan, dalam konteks pada persaingan hidup. Istilah terakhir ini mungkin masih butuh penjelasan. Namun intinya, seperti ada persaingan untuk mendapatkan sesuatu yang bisa mempermudah hidup seseorang. Jika yang dimaksud secara materi, mungkin bisa disebut pemasukan. Dalam konteks yang lebih luas, ia bisa disebut dengan rezeki.
Banyak di antara kita yang sepertinya tidak percaya bahwa rezeki bagi seseorang itu tidak akan bertukar. Semuanya sudah bertumpuk masing-masing. Sekali lagi, bahwa rezeki itu, dalam makna yang luar, tidak semata terkait dengan pemasukan materi. Rezeki bisa saja kita dapatkan dalam berbagai bentuk, misalnya fasilitas dan berbagai kemudahan. Dalam dunia motivasi mutakhir, berbagai fasilitas dan kemudahan ini sudah ditekankan untuk dimasukkan dalam konteks kesuksesan. Orang-orang yang sukses tak semata karena ia memiliki kekayaan dengan jumlah tertentu, baik berupa kekayaan uang, logam mulia, atau bangunan lainnya. Pada dasarnya orang yang sukses bisa juga dalam bentuk lain seperti mendapatkan banyak kemudahan dalam hidupnya. Mungkin seseorang tidak memiliki pendapatan yang melimpah, namun orang tertentu tidak pernah mengalami kesulitan dalam hidupnya.
Kategori yang terakhir ini bisa digolongkan ke dalam maksud kesuksesan tersebut. Nah, dalam makna terkait dengan pendapat ini, ia bisa digolongkan sebagai rezeki yang didapatkan oleh yang bersangkutan. Alasan sederhananya karena berbagai kemudahan itu tidak didapatkan oleh semua orang. Karenanya jika tidak digolongkan ia sebagai wujud rezeki, orang tidak bisa menilai sesuatu kemudahan dalam hidupnya.
Penekanan ini sangat penting untuk memberi gambaran bahwa seseorang harus bisa membedakan apa yang dialami dalam hidupnya sehari-hari. Semua itu juga terkait dengan rasa syukur kita terhadap apa yang kita dapatkan. Rasa syukur tidak hanya karena seseorang mendapatkan harta (materi) saja. Namun lebih dari itu. Berbagai kemudahan dan fasilitas juga harus disampaikan rasa syukur. Bisa dibayangkan bagaimana orang yang tidak memiliki materi yang berlimpah, namun ia tidak pernah sakit. Bandingkan dengan orang yang secara materi luar biasa, namun selalu keluar masuk rumah sakit. Di rumah yang megah tidak bisa tidur dengan tenang. Demikian juga makanan, harus memilah-milih ekstra ketat.
Orang yang tidak harus mengatur secara ketat hal tersebut, haruslah ditangkap sebagai kemudahan dan fasilitas. Orang yang tidak perlu keluar-masuk rumah sakit –karena gangguan kesehatan, merupakan fasilitas yang tersedia yang dimanfaatkan tidak dalam wujud materi. Atas itu juga harus kita syukuri, dalam makna yang luas sebagai rezeki yang tiada batas.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.