Daging

Masyarakat di sini banyak sekali agenda kultural dan keagamaan. Dalam merayakan agenda tersebut, tidak semua orang mampu melakukannya. Saat demikian, membutuhkan keterbukaan hati masing-masing kita. Orang yang berkelebihan untuk melihat dan memahami bagaimana keadaan sekelilingnya. …

Masyarakat di sini banyak sekali agenda kultural dan keagamaan. Dalam merayakan agenda tersebut, tidak semua orang mampu melakukannya. Saat demikian, membutuhkan keterbukaan hati masing-masing kita. Orang yang berkelebihan untuk melihat dan memahami bagaimana keadaan sekelilingnya. Sensitivitas dan paham rasa sangat penting.

Tidak masalah orang yang tidak mampu. Mereka juga tidak dituntut untuk melakukan hal yang di luar kemampuannya. Namun yang menjadi catatan bahwa mereka juga melihat bagaimana orang yang mampu di sekeliling mereka. Orang yang tidak mampu, tidak jarang hanya menjadi penonton dari tidak sensitifnya orang-orang yang berkelebihan di sekelilingnya.

Tentu kita bisa merasakan suasana yang demikian berulang-ulang. Saat momen tertentu, kita bahkan mencari setumpuk daging. Ketika itu, bau kuahnya menyengat di mana-mana. Gulai daging dimasak dengan berbagai jenis. Dalam masyarakat di sini, hari-hari tertentu memiliki arti khusus. Makanya di setiap rumah, seperti mengharuskan adanya daging –walau hanya secuil. Seperti mengharuskan –karena nyatanya, mungkin tak semua rumah mampu menyediakan daging. Ada orang di rumah tertentu yang menghabiskan waktu bertahun hanya untuk merayakannya. Mereka memelihara ayam dan bebek yang hasilnya dimanfaatkan untuk momentum seperti hari tertentu tersebut.

Dengan fenomena demikian, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa ada hari tertentu menjadi salah satu jadwal penting dalam kehidupan mereka. Dalam perjalanan waktu selama setahun, bagi mereka terdapat sejumlah hari yang dimanfaatkan untuk momentum semacam ini. Awalnya mungkin sangat sosial. Penguasa zaman dahulu menjadikan momentum tersebut untuk mengecek sejauhmana kemampuan mereka mengonsumsi daging. Berbeda dengan kondisi saat ini, dimana harga daging saja tidak terjangkau. Impian daging murah seperti mimpi panjang yang entah kapan bisa dicapai. Masyarakat di sini sudah terbiasa dengan harga daging yang di atas Rp 150 ribu.

Begitulah, tidak ada protes. Bagi masyarakat di sini, untuk merayakan seperti kemarin pagi itu tak perlu protes. Toh, mereka merayakan tidak setiap hari. Mereka merayakan sejumlah hari yang bisa dihitung jari. Bahkan mungkin dengan asapnya saja mereka bisa merayakan ketika suasana dalam ketidakberdayaan. Barangkali begitulah yang dirasakan.

Maka di pasar, persediaan daging seperti berlomba-lomba menggelar lapak. Dengan berbagai ukuran dan usia. Sejumlah jenis hewan tersedia dan dijual. Perilaku yang menjual pun tampak beragam. Ada yang super jujur, di sela-sela ada juga yang kurang jujur. Ketika kita mau membeli daging, semua pedagang menawarkan dagangannya. Ada yang dengan wajah sumringah, pun tak jarang mereka yang berwajah tidak ramah. Padahal tipe orang yang menawarkan barang, selalu harus menebar senyum kepada calon pembeli.

Seyogianya momentum semacam ini membuat semua pintu rumah terbuka lebar –apalagi mereka yang memiliki daging banyak. Daging semacam ini agak spesial karena tidak semua orang akan mendapatkan secara cuma-cuma. Berbeda dengan hari kurban, mungkin bisa didapat oleh semua orang. Ketika banyak orang yang melaksanakan kurban, maka itu akan dibagi menurut jumlah hewan kurban. Besar kemungkinan semua akan mendapatkan.

Untuk hari tertentu, tidak demikian, tidak sama dengan hari kurban. Daging khusus dibeli dan disediakan untuk merayakan momentum tertentu yang membuat mereka seharusnya tambah tajam pemahaman kondisi kanan kiri. Orang-orang yang berkekurangan seyogianya mendapat tempat khusus untuk kita lihat, agar mereka yang hidup di sekitar kita tidak hanya mencium bau daging yang masuk ke rumahnya.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment