Kita menyaksikan bagaimana seseorang mempersiapkan harta untuk anaknya. Sebagian besar orang berpikir bahwa persoalan yang dihadapinya adalah materi, sehingga yang dilakukan dalam mempersiapkan generasi di bawahnya, selalu dengan meninggalkan harta. Semua anak yang ditinggalkan seolah akan mencerca orang tua yang tidak meninggalkan materinya.
Harta dibayangkan akan membuat semuanya menjadi bahagia. Padahal tidak demikian. Tidak sedikit anak yang justru sebaliknya, membuat orang tua semakin menderita dari harta yang ditinggalkan. Anak-anak yang tidak berharta, justru merawat orang tuanya secara bersahaja.
Rasanya pada bagaimana orang tua membekali anak. Harta yang banyak, jika tidak dibarengi dengan persiapan yang baik, akan berujung pada titik yang tidak baik. Konon masalah waktu tidak seperti yang dibayangkan, bahwa seorang tua selalu akan lebih awal akhir hidupnya. Tidak sedikit anak-anak yang pergi terlebih dahulu meninggalkan orang tuanya.
Seseorang yang tidak membekali generasi kemudian secukupnya, akan merasakan titik akhir yang tidak baik. Kegagalan semacam ini, muncul bisa jadi tidak selalu diawal. Bahkan orang yang merasakan kepahitan, justru pada detik-detik akhir yang lengah.
Kondisi ini saya teringat kembali dalam olahraga. Pengalaman dari menonton tim-tim hebat dalam pertandingan sepakbola, menjadi pelajaran penting agar sesuatu yang baik harus dipertahankan hingga titik akhir. Tim yang hebat biasanya dipadukan antara pemain yang hebat, dilatih oleh orang yang luar biasa, dan manajemen klub serta kekuatan dana yang lumayan. Namun akhir-akhir ini, muncul beberapa klub yang dulunya di papan bawah, dengan pemain yang tidak terkenal, bisa menghiasi klasemen papan tengah bahkan papan atas, beberapa alat ukur di atas mulai didalami lagi. Ada hal lain yang tidak boleh dilupa: semangat.
Seperti sebuah tim yang bermain bagus, yang sudah bisa mempertahankan performanya dalam waktu yang 90 menit. Tiba-tiba dengan sedikit lengah dan kehilangan fokus, kondisi 90 menit itu hancur pada menit-menit krusial, yang disebut masa perpanjangan waktu. Lengah dan kehilangan fokus, bisa jadi ada tensi semangat yang turun.
Semangat ini tidak boleh dianggap sederhana. Dengan kehilangan atau kekurangan semangat, orang-orang tergoda dan menganggap bahwa apa yang dilakukannya sudah sangat sempurna, sehingga tidak berupaya untuk terus belajar. Padahal proses belajar inilah yang menentukan sejauhmana kita berusaha untuk mencapai satu titik yang diridhai oleh Pencipta.
Seperti banyak tim yang jatuh di masa perpanjangan waktu, orang juga banyak yang terjerembab di titik akhir. Orang yang merasa dirinya selalu lebih baik dari orang lain, bisa terjun bebas ketika dalam kenyataan ternyata ia rapuh. Orang tidak boleh berpuas diri terhadap apa yang sudah didapat dan dilakukan. Tidak boleh hanya karena rajin bersedeqah lalu ia menjadi bahan status rutin yang justru akan menyebabkan sebaliknya.
Kita harus ingat bahwa setiap orang baik itu harus selalu berusaha lebih baik dan tak boleh menganggap ia lebih baik dari yang lain. Ketika muncul rasa bahwa ia sudah lebih baik dari orang lain, maka potensi ia untuk menjadi buruk sudah muncul. Sangat ironis bila hal itu terjadi ketika di titik akhir sisa hidupnya. Orang yang sudah menjalani kehidupan secara luar biasa di sepanjang hidupnya, namun karena di titik akhir berubah orientasi, semuanya hancur berkeping. Makanya semangat untuk terus berusaha ke arah lebih baik dengan tak menganggap diri lebih baik, harus dilakukan oleh semua kita.
Jangan lupa juga bahwa orang yang buruk sekali pun, selalu berpotensi menjadi orang baik, juga dari sisa hidup yang dijalaninya. Jangan mengira bahwa kondisi orang buruk itu sudah final. Kita tidak tahu di titik mana hidayah seseorang akan datang. Ketika semua pintu terbuka dan semuanya berbalik, maka apapun bisa terjadi. Makanya kita harus selalu berdoa agar terjaga baik selama hidup, kondisi baik ketika mati, dan baik pula ketika sesudah mati.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.