Entah apa yang bisa dilihat oleh orang lain terhadap seseorang? Orang yang –terutama—mereka berada dan lebih memiliki materi, justru menganggap orang lain sebaliknya –lebih memiliki materi. Orang yang hanya memiliki harta apa adanya, namun dianggap memiliki banyak simpanan. Orang yang biasa-biasa saja, tidak berpikir banyak hal, lalu untuk pengeluaran juga tidak berlebihan karena dengan keterbatasan, justru oleh orang yang melihatnya, bisa dianggap sebaliknya.
Orang yang hidup berlebih bisa melihat orang yang sesungguhnya tidak punya banyak harta sebagai orang yang berlebih. Orang yang hidup sederhana, bisa dianggap memiliki sesuatu yang tidak sederhana –secara materi. Bahkan orang-orang yang secara materi lebih besar, tidak mampu membendung keinginannya dalam menyampaikan kepada orang lain –yang bahkan bisa jadi lebih tidak bermateri dibandingkan dirinya.
Ada satu kisah yang bagi saya sangat menarik. Seorang yang ingin sekali memiliki mobil sedan setengah mewah. Saya sebut setengah mewah, karena bagi kalangan atas, harga mobil tersebut tidak tinggi, namun bagi kalangan menengah ke bawah, dengan harga tersebut dianggap mobil tersebut sudah tergolong mewah.
Berbagai hal dilakukan untuk mengumpulkan uang agar ia bisa membeli mobil tersebut. Dalam berbagai hal ia menahan diri dan menabung ketat uangnya. Ia berharap tak lama lagi, ia akan memiliki mobil yang diidamkan tersebut. Sebenarnya bukan itu saja. Ketika ingin membangun rumah besar, ia juga demikian. Menahan diri dan menabung ketat. Kini rumah tersebut sudah terbangun di pinggir jalan.
Ia juga sudah memiliki mobil biasa-biasa saja. Jadi bukan sama sekali tak memiliki mobil. Dengan maksud ingin memiliki mobil tersebut, ia juga meminjam uang kanan-kiri. Orang yang memungkinkan dimintai pinjam, akan dilakukan, dengan harapan tidak terlalu lama lagi mobil impiannya bisa dimiliki. Ia juga mengambil kredit di bank. Namun karena sudah berulang kali, jumlah kredit yang diberikan tidak bisa besar. Dan dengan angka kredit demikian belum mencukupi untuk kebutuhan tersebut. Tidak itu saja, ia juga meminjam di tempat simpan pinjam di kantornya, yang dari segi jumlah, juga tidak seberapa.
Terakhir, ia juga mendatangi beberapa temannya. Salah satu teman yang didatangi, justru yang belum memiliki apa-apa. Teman ini masih tinggal di rumah kontrak, belum memiliki tanah sedikit pun, apalagi mobil. Namun ia datang ke teman ini, berharap ia sedang ada tabungan yang bisa dipinjamkan beberapa waktu. Ketika sampai di sana, ia menyampaikan maksud kedatangannya kepada tuan rumah, yang hari itu ternyata juga ditemani istrinya. Setelah berbasa-basi sedikit, ia langsung pada pokok persoalan, mengenai kedatangannya yang ingin meminjam uang. Ia cerita secara lengkap kemana saja ia sudah meminjam, apa yang sudah dilakukan, dan kepentingan apa uang yang akan dipinjamnkan tersebut. Teman dan isterinya mendengar dengan seksama.
Setelah semuanya diceritakan, teman tadi hanya menjawab beberapa patah kata saja, bahwa ia sedang tidak mempunyai tabungan. Ia malah merasa tidak dipercaya. Lalu ia mengeluarkan jurus lain, bahwa kalau diberikan ia akan mengembalikan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Teman tadi kembali menyebut bahwa ia sedang tidak memiliki tabungan.
Sebenarnya banyak kisah yang seperti ini. Orang yang memiliki banyak hal tetapi seperti merasa belum memiliki apa-apa ketika belum mampu membeli apa yang diinginkannya. Masalahnya hal yang mau dibeli tersebut bukan barang murah, di mana untuk mencukup kebutuhan uangnya, orang demikian akan melakukan apapun, dengan alasan ketidakcukupan tersebut. Perasaan ketidakcukupan belum tentu dimiliki orang yang tidak memiliki apa-apa. Banyak orang yang merasa hidupnya sudah merasa memiliki sesuatu lebih dari cukup, namun ia tidak mengabarkannya ke sana ke mari.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.