Ada analogi penting yang diceritakan seorang guru saya. Melaksanakan ujian bagi mahasiswa yang mengambil mata kuliahnya. Namun ia tidak bisa mengawasi ujian hingga akhir, karena harus mengikuti rapat penting. Ia meminta bantu pada seseorang untuk mengawasi ujian hingga waktunya habis. Ada satu pertanyaan yang ditanyakan orang yang diminta bantu, yakni apakah sudah sering mahasiswa di kelas tersebut berperilaku mencontek?
Pertanyaan semacam itu bisa jadi tamparan. Bukan saja karena ia sebagai pengajar senior, melainkan hal yang lebih penting, mata kuliah tersebut berisi tentang kepribadian.
Ada satu pertanyaan penting mesti dijawab, yakni mengapa mencontek tidak bisa ditinggalkan? Bahkan dalam bulan yang penuh rahmat ini? Jawabannya karena mahasiswa tidak yakin dengan apa yang telah diupayakannya. Belajar mempersiap-kan diri tidak dilakukan secara maksimal. Mereka yang yakin, tidak akan menempuh jalan apapun bila menggadai kejujuran. Posisi kejujuran ini jauh lebih penting dari hanya sekedar ingin memperlihatkan bisa mendapat nilai yang bagus.
Pesan inilah yang seharusnya disampaikan kepada semua orang. Melakukan apapun harus berdasarkan proses, tidak semata soal hasil. Jangan sampai karena mengejar hasil, namun menghalalkan berbagai cara. Bahkan untuk mendapatkan nilai yang bagus, mau dan mampu melakukan langkah-langkah yang menjijikkan.
Mereka yang berproses adalah memanfaatkan setiap momentum untuk berusaha. Bagi orang yang berusaha, proses sebagai sesuatu yang harus dilalui, lalu mereka yakin bahwa sesuatu akan mereka dapatkan. Proses ini yang dilakukan melalui sejumlah rencana yang dipersiapkan untuk itu.
Mereka yang berproses, tidak hanya untuk urusan besar. Mereka yang berjualan di warung kecil pun, seyogianya memiliki rencana. Tidak boleh asal-asalan. Itu jika seseorang ingin berhasil. Salah satu rencana penting adalah terkait dengan bagaimana barang bisa dijual dengan kualitas yang bagus, namun dengan harga yang murah.
Pengalaman ini yang saya lihat dari seorang penjual jus yang saya kenal. Ia menjual jus di warungnya yang kecil. Di sini saya sering membeli jus, dengan berbagai ragam tersedia. Harganya jika dibandingkan dengan yang lain, di sini lumayan murah. Letaknya persis di persimpangan lorong. Biasanya, banyak anak muda yang antre di sini –terutama dengan mahasiswa.
Sebelumnya saya sering melihat para anak muda ini selalu berkumpul di sini, sambil minum jus dalam gelas super besar. Gelas dengan ukuran ini jarang saya lihat di warung-warung di daerah kita. Hanya di sini saya melihatnya. Barangkali hanya ada dua daya tarik: gelas besar dan harga murah. Akan tetapi setelah saya membeli di sini, tak juga berkurang kualitas walau dengan harga murah dan gelas besar tersebut.
Mengapa harganya bisa murah? Tentu ada alasan dari penjual ini. Suatu pagi, secara tak sengaja saya melihat penjual ini sedang bertransaksi di pasar tradisional, yang letaknya dari tempat saya tinggal tidak begitu jauh. Biasanya kalau saya dan istri mau belanja, kami sering jalan kaki, yang membutuhkan waktu 15 hingga 20 menit saja. Di pasar ini saya melihat penjual jus sedang memilih buah-buah yang akan dijual. Ia memilih sendiri buah-buahan yang mau dibeli, dengan tekun. Sepertinya sudah ada komunikasi yang baik antara dia dan penjual buah di sana, sehingga penjual jus ini terlihat nyaman sekali melakukan demikian.
Rupanya, yang ia lakukan –dengan target ingin memberi harga murah—sangat sederhana. Ia memilih buah yang tidak begitu besar, dengan kondisi buah yang mungkin tak masuk dalam kualitas super. Dengan kualitas sedang itu, harga yang dibeli dengan sendirinya juga menjadi murah. Harga yang demikian, memungkinkan juga harga ke konsumen menjadi murah. Saya sebut memungkinkan, karena tak semua penjual akan memilih jalan untuk menawarkan harga murah seperti ini. Umumnya penjual menginginkan untung yang banyak.
Menarik bagi saya karena penjual jus ini tidak mengambil untung yang berlipat. Biasanya orang-orang, walau memakai bahan yang sedang dengan harga yang juga sedang, tetapi giliran menawarkan ke konsuman, harganya akan disesuaikan dengan harga yang super. Beda dengan penjual jus ini. Orang ini tidak demikian. Ia tetap mengambil sedikit setelah dihitung dengan modal yang harus dikeluarkan.
Setelah menyaksikan dan tahu kondisi tersebut, saya sempat bertanya mengapa ia bisa berjualan dengan rumus sesederhana itu. Jawabannya sudah sering kita dapatkan dari kearifan-kearifan, bahwa ketika orang yang membeli senang, maka mereka akan membawa penjual sebanyak mungkin ke tempat kita. Barangkali rumus inilah yang berlaku ketika kemudian banyak orang yang datang ke sana turut andil dari pembeli sebelumnya.
Mencari untung yang pas-pasan bukanlah tipikal semua penjual. Saya sedikit belajar pada orang ini mengenai satu versi kejujuran, di tengah riuh-rendah ketidakjujuran masif. Dalam konteks yang lebih luas, bahkan orang yang seharusnya melayani kita pun, semakin sering berjual beli dengan kalkulasi untung rugi. Pertanyaannya apakah mereka yang telah menerima hak untuk melayani rakyat, lalu kemudian bermain teka-teki dalam melayani, tidak takut akan ada mahkamah dari tanggung jawabnya?
Pengalaman saya ini, mengingatkan apa yang dilakukan sejumlah mahasiswa yang diceritakan senior saya. Saat mereka merasa wajib memperoleh nilai bagus, namun dengan tidak berusaha, justru akan memungkinkan mereka memiliki jalan-jalan buruk.
Bulan ini, seyogianya menjadi momentum untuk memperkuat kejujuran. Membiasakan diri dalam melakukan apapun dengan berusaha lalu yakini akan hasil yang baik. Melakukannya dengan jujur, akan menambah yakin akan mendapat hasil yang baik itu.