Berbuat baik itu tidak berbatas. Jika ada yang memberi batas, suatu saat ia akan merasakan batas itu. Berbuat baik karena ingin sesuatu, suatu saat akan merasakan tidak ada apa-apa yang akan didapat, saat kemampuan melakukan sesuatu itu sudah tidak ada.
Balasan terhadap orang yang berbuat baik, datangnya alamiah. Tidak dibuat-buat. Tidak ada yang bisa dikondisikan. Perbuatan yang baik, sering tidak terduga bentuk balasan baiknya. Seperti orang yang sering membagi terhadap orang lain, akan mendapatkan balasan yang tidak terduga.
Atas dasar itulah, orang yang ingin mendapatkan balasan karena kebaikan yang dikondisikannya, tidak selalu akan merasakan sebagaimana yang diharapkan. Sebaliknya, mereka yang tidak berharap apa-apa, melakukan sesuatu dengan ikhlas, mendapatkan sesuatu yang di luar perkiraannya.
Ada rumus sosial yang tidak tertulis. Mengunjungi orang lain, maka berkemungkinan besar orang lain itu akan mengunjungi kita. Ada yang kebalikannya, namun tidak banyak. Mereka yang tidak pernah mengunjungi orang lain, namun tetap dikunjungi. Banyak orang yang ternyata tidak begitu peduli. Orang-orang yang hanya menunaikan kewajiban sosialnya mengunjungi orang lain, dan tidak peduli apakah nanti akan dibalas kunjungan atau tidak. Istilah kewajiban sosial, karena di tempat tertentu seolah ada yang tidak lengkap apabila ada orang lain yang sakit dan semacamnya, jika tidak dikunjungi.
Dulu orang mengklaim bahwa fenomena demikian, hanya berlangsung di kampung-kampung. Apa yang saya rasakan sekarang. Ternyata orang-orang kota tidak kurang memiliki suasana yang demikian. Malah di kampung-kampung tertentu, sudah hidup layaknya tidak berkampung. Sebaliknya, kadang-kadang di kota, hidupnya sudah lebih berkampung (meugampong).
Begitulah. Sepulang dari kampung, ada yang sedang sakit dan menjenguk merupakan pilihan tepat. Tetangga, yang tiba-tiba harus dirawat karena penyakitnya kambuh. Ketika sampai di sana, banyak orang kampung yang sedang berkunjung. Orang yang sakit ini masih muda, jarang berkunjung ke orang lain. Masalah ternyata tak di sana. Siapapun orang kampung, berkemungkinan dikunjungi oleh orang lain. Orang yang jarang menjenguk orang lain, maka akan lebih sedikit orang yang menjenguknya. Demikian sebaliknya. Orang yang sering mengunjungi orang lain, maka ketika terjadi sesuatu terhadap diri atau anggota keluarganya, maka akan banyak yang menoleh.
Seperti kebiasaan orang kampung, setiap ada orang sakit, selalu ada keinginan untuk berkunjung, walau ia harus utang. Ini unik sekali. Banyak orang yang bersedia mengorbankan dirinya untuk meringankan penderitaan orang lain. Dengan berutang, sebenarnya mereka sedang menyusun derita lainnya. Dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan, plus harus mengutang, itu derita yang berganda. Akan tetapi tak masalah. Ada semangat bagus yang dimiliki, bahwa mereka yang sakit, tidak saja membutuhkan materi untuk membiayai pengobatannya, melainkan juga semangat jiwa. Ada sebagian orang yang sudah membayar asuransi kesehatan –suatu kalkulasi untung-rugi yang dilakukan oleh penguasa—membuat mereka tak harus menyediakan biaya besar. Untuk standar pengobatan, mereka sudah tersedia. Dalam kenyataan memang tidak selalu tersedia sebagaimana kelasnya. Seorang yang berhak di kelas tiga, bisa jadi ketika waktu tertentu, tidak ada fasilitas di kelas tiga, melainkan kelas yang di atasnya. Untuk kondisi ini, mereka juga harus membayar sisanya.
Barangkali untuk mereka yang menggunakan fasilitas asuransi untung-rugi itu, sudah merasa sedikit berkurang bebannya pada saat itu –sedang saat yang lain tetap harus membayar. Setidaknya, hal ini jika dibandingkan dengan masyarakat yang sama sekali tak menggunakan fasilitas asuransi sama sekali. Semua orang seharusnya menggunakan fasilitas ini, namun kabar itu tidak selalu bisa mencapai masyarakat lapisan bawah. Di pihak lain, penguasa sering menghitung laba-rugi dengan rakyatnya, sehingga rakyat sendiri, diatasnamakan gotong royong tetap membayar sejumlah biasa untuk fasilitas tersebut. Bisa dibayangkan mereka yang tidak menggunakan jalur ini. Ketika mereka harus membayar sepenuhnya biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan tersebut.
Fungsi orang kampung tidak sepenuhnya menutup hal ini. Tak masalah. Bagi orang kampung yang merasa sependeritaan dengan mereka yang sedang menderita, datang jauh lebih penting, tak masalah bahwa apa yang mereka bawa itu hanya cukup untuk sedikit saja dari total biaya yang harus dikeluarkan. Ada semangat yang harus dilihat, yakni semangat berbagi. Dalam kondisi demikian, betapa dahsyatnya semangat berbagi itu. Dari mereka yang pas-pasan, saling membantu satu sama lain. Semangat yang berlipat dari kondisi ini adalah bangkitnya kekuatan untuk menerima derita sakit yang dialami.
Semangat ini menarik jika dipupuk. Ia bisa jadi kekuatan besar bangsa dalam membangun masyarakat secara paripurna. Secara totalitas. Kekuatan ini, sewaktu-waktu dapat menyelesai-kan banyak persoalan yang seolah tiada putusanya terjadi di sekitar kita. Siapa yang akan mau menggunakan semangat ini untuk kekuatan membangun?
Jadi melakukan sesuatu, harus kita biasakan dengan ikhlas. Bukan karena ingin balasan. Soal orang akan membalas kebaikan orang lain, itu semua seyogianya bukan urusan kita yang melakukan sesuatu yang baik itu. Hanya perbuatan baik yang ikhlas yang akan mendapatkan ganjaran baiknya dengan sempurna.
Mari kita melakukan sebanyak mungkin perbuatan baik. Sesuatu yang baik mudah-mudahan akan diikuti oleh kebaikan lainnya. Secara beruntun dan sambung-menyambung tali kebaikan. Terhadap siapapun mari berbuat baik, dan mudah-mudahan akan mencapai akhir yang baik bagi semuanya.
Orang melakukan yang baik juga atau tidak, terhadap kita, itu soal lain. Hanya saja kita berharap, orang-orang semua akan melakukan kebaikan.