Kemarin, sepertinya biasanya, saya singgah di sejumlah tempat. Setelah ke luar kota selama empat hari, saya rindu dengan kopi. Maksud saya kopi yang sering diminum di sini. Bukan berarti saat ke sejumlah tempat, di luar kota, saya tidak minum kopi. Tapi agak berbeda rasa. Nah, posisi rasa ini, bisa jadi kita berbeda. Ada orang yang yakin kopi yang mahal saja yang bisa memberi rasa yang diinginkan. Saya sebaliknya. Bahkan kopi yang murah pun, kadang-kadang kita mendapat sesuatu yang diinginkan. Sama seperti sejumlah tempat ngopi saya di sini. Hanya sejumlah warung yang selaras dengan rasa yang berterima di alat perasa saya.
Soal yang ingin saya sampaikan, sebenarnya sudah beberapa kali saya tulis: soal terima kasih. Sejumlah tempat yang saya kunjungi kemarin, tidak saya dapatkan ucapan itu. Saya mampir di salah satu warung kopi yang sering saya kunjungi. Setelah membayar, saya tidak menerima ucapan terima kasih dari pelayannya. Begitu juga saat keluar, Ketika berpapasan dengan tukang parkir, setelah menerima bayaran saya seribu rupiah, ia juga tidak mengucap kata ini. Setelah itu, saya harus membeli beberapa meter kawat untuk membersihkan pipa tempat cuci piring dari sumbat. Dengan silang kecil, ternyata tidak bisa saya bersihkan. Dengan menggunakan kawat kecil, juga tidak bisa. Saya Kembali ke tempat yang sama, menanyakan cairan yang memungkinkan mengatasi hal ini. Mereka berikan satu jenis dengan harga yang menurut saya tidak murah. Setelah memberikan uang, saya juga tidak menerima ucapan terima kasih dari tempat ini.
Merujuk pada kamus, terima kasih itu diartikan dengan “rasa syukur”. Jika berterima kasih, berarti “mengucap syukur; melahirkan rasa syukur atau membalas budi setelah menerima kebaikan, dan sebagainya”. Saya tidak menerima ucapan ini di semua tempat yang saya kunjungi. Tentu, bukan pula pada soal saya membutuhkan ucapan terima kasih atau tidak. Tentu tidak soal. Masalahnya adalah posisi konsep yang seharusnya menuntun seseorang untuk tidak melupakan hakikatnya.
Mengacu pada konsep kamus, sesungguhnya ada ketergantungan kita dengan orang lain. Saya tidak memahami apakah para penjual itu, tidak merasa pelanggannya sebagai tempat bergantung. Entahlah. Sehingga mereka berpikir, tanpa mengucapkan terima kasih pun, siapa pun pasti akan datang kembali ke tempatnya. Tapi tunggu dulu! Bagaimana jika sebaliknya. Jika semua pelanggan memiliki pikiran bahwa kami sebagai pelanggan tentu sebagai ikat-kait ketergantungan itu, maka sesungguhnya sesuatu itu bisa berubah dengan cepat. Pelanggan membutuhkan kopi dan penjual membutuhkan pelanggan. Sebuah rumus saling membutuhkan yang rasional.
Tidak ada terima kasih. Barang kali mereka mengira, pembeli bisa datang siapa saja. Padahal dunia sudah mulai bergeser ke pelayanan.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.