Uang Transpor

Saya pernah mengikuti satu diskusi —saya ikut karena menurut saya penting. Ada kebijakan ekonomi dan pasar untuk orang kecil. Durasinya setengah hari. Persis sebelah kanan saya seorang pedagang kaki lima yang khusus diundang oleh pelaksana. …

Saya pernah mengikuti satu diskusi —saya ikut karena menurut saya penting. Ada kebijakan ekonomi dan pasar untuk orang kecil. Durasinya setengah hari. Persis sebelah kanan saya seorang pedagang kaki lima yang khusus diundang oleh pelaksana. Bentuk diskusi ini sebenarnya didesain santai. Harapannya setelah diskusi selesai, akan ada sesuatu yang akan diserahkan kepada pengambil kebijakan. Makanya pelaksana mengundang seluruh stakeholders terkait. Orang semacam yang duduk di sebelah kanan saya ini, salah satunya. Tadi ia ceritakan, bahwa hari diskusi, ia terpaksa tidak berjualan setengah hari. Keuntungannya dalam setengah hari itu tidak banyak, tapi menurutnya cukup untuk makan ia dan keluarga. Tidak lebih, sebagaimana mereka yang memiliki peluang mencolong-colong untuk kebutuhan yang lebih, barangkali untuk warisan tujuh turunan. Orang yang di samping saya tidak demikian. Sehari tidak kerja, akan ada risiko yang akan ia emban. Ketika berangkat pun, ia tidak berpikir apakah panitia akan menyediakan sedikit uang transpor atau semacamnya. Apalagi dalam perkembangan sekarang ini, orang-orang yang penting dihadirkan diundang secara bersahaja dan jarang memperhatikan apa yang akan ia butuhkan pada hari itu.

Pedagang ini telah datang dengan bersemangat. Ia datang agak pagi, namun jika dihitung dengan jadwal acara, sebenarnya tidak terlalu pagi. Kebiasaan di tempat kita, diskusi pada jam tertentu, tapi orang berkumpul setelah satu jam kemudian. Makanya orang yang datang pas waktu, dianggap terlalu pagi. Sudah terbolak-balik mengenai bagaimana seharusnya waktu didudukkan. Pedagang harus selalu tiba pada waktunya, karena berdasarkan pengalamannya sehari-hari, pembeli itu juga biasanya ada waktunya pula. Ketika pasar pagi orang yang lalu-lalang, kebutuhan orang yang ke pasar pasti banyak. Di antara kebutuhan yang banyak itu, berpeluang untuk dicari pada pedagang ini. begitulah cara simpel ia berpikir. Tak disadari kadangkala banyak kebiasaan berdagang itu kemudian terbawa dalam aktivitas hidupnya yang lain. Banyak yang baik yang bisa dipetik, namun bagi mereka yang tidak terbiasa, akan menganggap cara-cara mereka di luar kebiasaan. Tak masalah, bukankah orang yang tidak biasa tepat waktu, akan mengatakan orang yang tepat waktu sebagai berlebihan?

Begitulah sang bapak ketika datang pagi, dengan harapan ada sesuatu yang ingin disampaikan. Ia bahkan sudah persiapkan beberapa hal. Kalau bisa ia ingin menyampaikannya di awal acara, terutama ketika banyak orang penting masih ada di arena. Maklumlah, orang penting yang seharusnya menjadi pendengar yang budiman, jarang bisa bertahan lama. Setelah beberapa waktu, karena mereka juga memiliki banyak agenda, mereka akan ke tempat lain lagi. Apa yang terjadi di ruangan? Waktu yang banyak pendengar itulah, lebih banyak sambutan dari mereka untuk mereka ketimbang mendengar apa yang dialami oleh mereka yang kecil-kecil. Belum lagi di samping mereka yang terkait, ada banyak orang yang pandai berbicara, yang ketika dikasih mikrofon, berbicara tak kenal waktu.

Orang-orang yang menjadi sasaran diskusi dilakukan, sering tidak mendapatkan waktu yang cukup. Banyak agenda hanya untuk menutupi syarat. Pada taraf demikian, sebenarnya sudah banyak sekali orang yang hanya ingin berbicara, dibandingkan dengan mereka yang hanya ingin mendengar. Masalahnya bukan pada boleh tidaknya berbicara, melainkan karena yang berbicara kadangkala lebih minim informasi dari mereka yang ingin mendengar. Mereka terlalu banyak berbicara dengan meraba-raba.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment