Ada yang berbeda antara masa lalu dengan sekarang. Bukan tidak boleh berbeda. Pun bukan berarti tidak boleh berubah. Tingkat besarnya pemasukan, jelas sekarang lebih besar. Pundi-pundi tampak lebih meriah, dibandingkan dulu. Jalur pemasukan, sudah banyak. Setidaknya sudah bervariasi. Tapi apakah itu sebagai pertanda kemakmuran? Untuk hal ini, tentu harus didalami kembali. Jawabannya, belum tentu. Orang yang mendapat banyak pemasukan, apakah ia selaras dengan kesejahteraan, adalah hal yang harus dilihat secara berbeda. Saya kira tidak bisa pemasukan itu langsung disamakan dengan apa yang disebut sebagai kesejahteraan. Sejahtera. Saya kira dua hal berbeda.
Ada pertanyaan lain yang saya sering malu sama guru-guru saya masa lalu. Soal bagaimana mereka mendidik saya sebagai mahasiswa. Saya merasakan mereka yang sangat total dalam berharap mahasiswa mendapatkan apa yang seharusnya mereka dapat. Kata totalitas menggambarkan keadaan itu. Tidak semua orang yang berprofesi tertentu, termasuk juga akademisi, total dengan aktivitas dari profesinya. Ada orang yang hanya setengah-setengah. Hanya sekedar ada tempat mencantol status. Selebihnya, tidak peduli. Apalagi berbicara mengenai pelaksanaan kewajiban dengan baik, tidak semua orang bertanggung jawab terhadap profesinya secara total. Dengan bahasa yang lebih sederhana, orang akan melakukan kewajiban dan tanggung jawabnya secara lahir batin.
Apakah pada era sekarang tersedia banyak guru-guru, akademisi-akademisi, yang peduli lahir batin terhadap tanggung jawab dan kewajibannya? Apakah sudah kita yakini setiap bimbingan sudah memahami apa yang memang seharusnya mereka pahami? Dengan berbagai target capaian, jangan-jangan tidak semua kita bergerak dengan semangat yang sama. Inilah yang saya sebut sebagai akademisi bahagia. Akademisi yang seyogianya harus bahagia dengan pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya sebagai akademisi. Seseorang yang akan sumringah dan penuh gembira ketika masuk kelas (baik luring maupun daring) saat berjumpa dengan orang-orang yang membutuhkan ilmunya. Bukan akademisi yang hanya berpikir bagaimana melepaskan kewajiban administrasi, dan setelah itu selesai. Tidak ada urusan lagi.
Lalu bagaimana lembaga akan membahagiakan akademisi-akademisi yang bergerak secara total itu? Kompensasi apa yang dapat diberikan untuk orang-orang yang bertanggung jawab dengan baik terhadap profesinya? Saya sanksi, jangan-jangan kembali ke cara pandang administratif tadi. Kita hanya menilai menurut penilaian dangkal. Ketidakmampuan dengan mudah digolongan sebagai rumit dan menyusahkan. Apalagi dengan gejala akademikus yang mulai berpikir dan berpatok pada semata soal hasil. Tidak mau tahu bagaimana proses. Maka target-target yang ingin dicapai tadi, pada akhirnya berbicara bagaimana hasil, minus bagaimana prosesnya.
Kita tidak tahu bagaimana keadaan ini bisa diubah dengan baik. Pendidikan harus dikembalikan ke habitatnya. Cara pandang pendidikan idealnya diukur dengan pemahaman pendidikan. Ia berbasis nilai. Karakter juga. Bukan pada kalkulasi untung-rugi. Seperti bisnis perusahaan transportasi.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.