Arogansi ada di banyak tempat. Seperti anomali cuaca, tiba-tiba sudah ada di depan kita. Beberapa hari yang lalu, saat saya ke kampus, ada rombongan motor gunung yang menerobos lampu lalu lintas. Ironisnya kadang-kadang mereka didampingi oleh pihak yang berseragam resmi. Pada posisi demikian, mereka akan lebih arogan bila ada yang memotong di depan mereka.
Bukankah bisa dibayangkan, bagaimana kita harus menghargai orang yang menerobos lampu merah di lampu lalu lintas –yang prosesnya dikawal sedemikian rupa. Jika mau ditebak-tebak, bisa saja di dalamnya ada orang-orang penting yang melepaskan hobinya di jalan yang seharusnya hak yang dimiliki sama dengan orang lain. Pajak yang mereka bayar –sekiranya motor-motor itu ada bayar pajak—sama dengan kami yang memakai jalan ini –juga membayar pajak.
Arogansi demikian seharusnya tidak boleh terjadi. Di sinilah negara harus hadir untuk menertibkan para penerobos-penerobos lampu lalu lintas itu. Ada dua kesalahan yang dilakukan, meminta orang lain tidak memotong di depannya, dan nyata-nyata melanggar aturan berlalu lintas dengan dikawal oleh mereka yang berseragam.
Pengalaman ini bukan yang pertama saya alami. Suatu pagi, ketika pulang dari pasar, saya dan istri beriringan dengan sekelompok orang bermotor. Melihat jenis kendaraan roda dua yang dipakai, bisa dipastikan bahwa mereka adalah pemilik kendaraan dengan merk yang sama. Semacam komunitas motor.
Menarik, melihat motor-motor yang memiliki nomor pelat huruf akhir BL-J, BL-L, BL-Y, BL-S, BL-Q, BL-N, BL-K, atau BL-P. Dari nomor pelat, menandakan –dan kemungkinan besar—mereka berasal dari berbagai daerah. Dengan melihat nomor pelat, mereka tidak berasal dari satu daerah. Mungkin juga dengan berbagai latar belakang. Dari kemungkinan ini, saya pantas merasa bersimpati.
Untuk apapun yang membawa kebaikan, rasa simpati menjadi wajar. Namun rasa simpati itu terganggu karena ternyata ketika di jalan, ada di antara mereka yang arogan. Sikap begini mewakili wajah sombong, congkak, dan angkuh, yang mempunyai perasaan superior dari yang lain, yang dimanifestasikan dalam sikapnya.
Ketika beriringan dengan mereka, saat saya dan istri sedang pulang dari pasar, persis lewat sebuah traffic light, kami disuruh agak minggir ke pinggir jalan. Mereka jalan berombongan menghabiskan hampir semua badan jalan. Di pinggir rombongan paling depan dan paling belakang, ada di antara mereka yang menggerakkan tangan kepada pemilik kendaraan yang lain –yang sama-sama sedang menggunakan jalan. Ketika mereka lewat, seolah-olah saya –dan mungkin kendaraan yang lain—harus melambatkan kendaraan dan mungkin seperti mempersilakan mereka lewat lebih dahulu. Apalagi sebagian kendaraan mereka memakai knalpot yang membuat telinga bising.
Sikap-sikap begini, menurut saya, sangat arogan. Karena tidak ada alasan apa pun selain kendaraan tertentu, yang bisa melakukan seperti itu di jalan raya. Untuk rombongan penguasa yang memakai pengawal panjang pun, seyogianya harus dikritisi dan diingatkan, konon lagi yang begini. Lebay, kata anak muda.
Bagaimana bisa ada orang yang menggunakan jalan sembarangan, padahal untuk membangun jalan itu diambil dari sebagian pajak yang kita juga membayarnya. Bukankah tidak ada yang lebih mereka bayar dibandingkan kita? Makanya, sekali lagi, perilaku begitu adalah arogan.
Silakan mengeluarkan hobi, tak perlu arogan. Silakan membangun komunitas-komunitas untuk membangun persaudaraan yang lebih besar, dengan tanpa perlu mengorbankan orang-orang lain yang menggunakan fasilitas yang sama. Sekali lagi, negara harus hadir untuk mengatur yang begini-begini.
Mereka yang memiliki kewenangan harus mengatur ketertiban, dan tidak membiarkan warga negara menerima hal-hal yang tidak nyaman. Dan gaya semacam ini memang tidak sendiri.
Kali lain, saat saya pulang ke kampung halaman dengan motor, pernah saya mendapatkan rombongan motor besar yang juga seperti ini. Itu malah lebih parah, dengan banyak pengawal. Jenis motor itu, sepertinya hanya mereka yang memiliki uang dan pangkat yang bisa membelinya.
Ingatlah sebagai warga negara yang selalu membayar pajak, saya harus mengingatkan mereka yang menjadi penguasa, bahwa tidak boleh ada perilaku arogan yang membuat warga tidak nyaman. Ini bisa jadi mengeluh. Tetapi kalau keluhan rakyat sudah tak ada yang dengar, apa masih butuh orang-orang yang katanya melayani rakyat?