Biasanya memakai barang orang lain, sangat tergantung dari harga. Untuk barang-barang murah, siapapun tidak segan untuk memakainya. Seolah tidak perlu ada pertimbangan yang mendalam ketika mau memakai. Apapun itu. Ia seolah mewakili strata sosial. Padahal belum tentu.
Saya sering melihat orang-orang yang berkelebihan memakai barang-barang sederhana. Banyak orang berada yang memakai kendaraan biasa-biasa saja. Justru sebaliknya. Barang-barang mewah disukai oleh mereka dari kelas biasa. Di tempar hajatan, yang terlihat kilauan emas seringkali bukan dari mereka yang berkelebihan, justru sebaliknya, dipakai oleh mereka yang menyimpan perhiasannya.
Bukankah strata sosial, seyogianya tidak mudah diukur dengan fasilitas yang dipakai? Namun seolah, kesan umum, barang-barang murah dan sederhana hanya dimiliki oleh mereka kelas biasa. Tidak ada beban ketika memakai yang hanya mampu bagi kelas biasa itu. Berbeda dengan barang dan fasilitas mewah dan megah, orang-orang akan menghitung berulang-ulang ketika mau memakainya.
Saya punya satu pengalaman. Ketika menghadiri suatu hajatan, kebetulan saya memakai sandal biasa. Alasannya sederhana, sandal yang saya pakai ringan dan enak dipakai. Sandal ini murah. Semua orang sepertinya paham bahwa sandal yang sering saya pakai ini, harganya tidak mahal. Dengan tidak bermaksud menyederhanakan masalah, bahwa sandal bentuk begini juga tidak mengurangi rasa hormat bagi yang punya hajatan.
Hadir dalam ruang ini sangat penting. Dengan menghadiri hajatan itu, saya ketemu banyak teman yang lama tidak berjumpa. Dulu waktu kuliah kami tinggal di tempat tinggal yang sama. Tujuan mereka juga sama datang ke hajatan ini, bersilaturrahim dan bersua dengan teman-teman yang sudah lama tidak tinggal di satu kota.
Alhamdulillah, acara berlangsung lancar. Acara juga sudah diselesaikan ketika azan dhuhur belum berkumandang. Dengan waktu yang tersisa, di luar ada acara makan-makan, masih memungkinkan duduk bersantai-santai sebelum dhuhur tiba.
Dhuhur ini saya menunaikan di mushalla lantai dua bangunan itu. Saya ambil wudhu’ di belakang dan naik ke lantai dua untuk shalat. Sandal saya biarkan di depan –satu pintu keluar masuk. Ketika turun, sandal saya sudah tiada. Sandal dipakai –mungkin sebentar—entah oleh siapa.
Bukan suatu masalah sandal itu dipakai. Juga tidak penting siapa yang memakainya. Mungkin diambil pun, bagi saya, silakan saja. Yang menjadi masalah adalah tidak adanya pemberitahuan.
Apa yang menyebabkan orang yang memakainya tidak menghitung-hitung ketika memakai sandal orang lain. Saya mencoba menebak-nebak. Dari segi harga, sandal, seperti sandal yang saya pakai, tidak membutuhkan perhitungan bagi pemakainya. Seperti memakai selop Jepang –nama sandal yang disebut orang di sini—siapa pun berani memakainya. Kalau mau menebak-nebak, mengapa berani, karena mengira dua hal. Pertama, pemilik sandal begini, pasti –dan berkemungkinan besar—bukan tokoh penting. Orang-orang yang penting, biasanya akan memakai sandal atau sepatu yang mahal. Kedua, karakter orang yang memakai sandal seperti saya, tidak patut digelisahkan, karena kalau pun marah, rasa marahnya itu bisa ditangkis dengan berbagai jurus.
Di luar soal sandal, semua fasilitas yang dihadapi juga dasarnya sama. Untuk barang yang diperkirakan dimiliki oleh yang tidak berkedudukan, sangat mudah untuk digunakan atau ditukar oleh siapa saja. Berbeda dengan fasilitas yang diperkirakan dimiliki oleh mereka yang berkedudukan.
Ini berbicara soal tebak-menebak perspektif pelaku. Dalam perspektif empunya, bisa saja berbeda. Tidak ada jaminan bahwa orang yang di level rendah lebih ringan tangan dari orang-orang level tinggi. Kadang-kadang orang yang baik budinya adalah mereka yang memiliki berbagai fasilitas dalam hidupnya. Tidak jarang kita temui orang berperilaku busuk adalah mereka yang hidup penuh kekurangan.
Percayalah, ini soal sandal, soal selop, bukan yang lain.