Hak

Hidup dalam sebuah masyarakat, tidak boleh abai soal menjaga kepentingan orang lain. Semua orang memiliki hak, namun ia harus selalu diseimbangan dengan kewajiban. Apa yang menjadi kewajiban kita, menjadi hak bagi orang lain. Demikian juga …

Hidup dalam sebuah masyarakat, tidak boleh abai soal menjaga kepentingan orang lain. Semua orang memiliki hak, namun ia harus selalu diseimbangan dengan kewajiban. Apa yang menjadi kewajiban kita, menjadi hak bagi orang lain. Demikian juga sebaliknya. Apa yang menjadi hak kita, berasal dari kewajiban yang dilakukan orang lain.

Kepentingan orang lain, orang banyak, bermaksud tercapai kehidupan yang harmonis. Dalam menjaga kepentingan, seseorang selalu menggunakan rasa dalam bertingkah laku. Apa yang akan dilakukan tidak lupa diukur dengan kepentingan banyak orang tersebut. Hanya saja kepentingan demikian, ditentukan oleh kondisi masyarakatnya. Masyarakat yang sehat, akan memiliki berbagai kepentingan bersama yang sehat.

Rasa yang akan digunakan, pada dasarnya adalah menanggalkan sikap mementingkan diri sendiri. Sesuatu yang akan dipakai bersama, kita harus rela berbagi, agar orang lain juga bisa menggunakannya, seperti yang kita gunakan.

Kepentingan semacam ini yang seharusnya ada di tempat umum. Semacam di jalan raya. Namun pengalaman masing-masing kita, menampakkan kenyataan yang berbeda-beda. Ada masyarakat yang bisa berbagi, namun tidak sedikit, kita hidup dalam masyarakat yang mudah tersinggung.

Masyarakat yang temperamen, dengan mudah tersulut berbagai tindak. Inilah yang akan kita rasakan, ketika keluar pagi dari rumah, berkemungkinan bersinggungan dengan orang-orang yang tidak sabar. Sebenarnya jalan ini tidak begitu sesak. Setidaknya, bila dibandingkan dengan beberapa kota besar, maka kepadatan kota ini, belum seberapa. Jumlah kendaraan yang meningkat dari tahun ke tahun, namun tidak diimbangi oleh kesantunan pemakai jalan. Semua seperti berburu ingin cepat sampai di tujuan.

Kondisi demikian, sangat rentan terjadi hal yang tidak diinginkan. Apalagi dengan lajur jalan yang minim, dengan tingkat kesabaran pemakai jalan yang rendah, seolah menampakkan wajah kesantunan kita. Adakah kesantunan di jalan? Jawabannya tetap ada, namun sudah rendah. Ketika di jalan, kita merasakan ada orang-orang yang masih santun, dengan jumlah yang sangat sedikit, adanya orang ini seperti hilang ditelan oleh perilaku sebaliknya.

Sekarang polisi sedang membagi lajur. Kalau pagi, khusus untuk jalur kiri digunakan oleh pengguna kereta –kendaraan bermotor roda dua. Sebenarnya pembagian lajur ini sudah ada dalam undang-undang tentang lalu lintas. Mungkin karena sesuatu dan lain hal, polisi pelan-pelan menerapkan lajur tersebut.

Ketika menggunakan lajur ini, juga seperti terasa aneh. Banyak pengendara sepeda motor yang tetap menggunakan lajur kanan. Pada saat yang sama, ternyata lajur kiri juga banyak digunakan untuk mobil. Apalagi kalau di wilayah publik, seperti depan sekolah, kantor, rumah sakit, maka lajur seperti ini tidak bisa dilaksanakan. Parahnya lagi ternyata di lajur kiri ini juga digunakan untuk memarkir kendaraan. Para pemilik usaha di pinggir jalan, tidak memiliki area parkir yang cukup, sehingga mereka juga menggunakan jalan umum sebagai tempat parkir.

Kondisi demikian memang sedikit aneh. Fasilitas yang dibiayai dengan pajak pembangunan, dalam kenyataan, untungnya dinikmati oleh segelintir orang. Dengan manajemen pemerintah yang mirip swasta, maka lahan parkir juga menjadi sangat gurih untuk dinikmati.

Berbagai kepentingan lain juga ada di pinggir jalan. Seolah tidak penting memikirkan risiko yang dihadapi oleh orang lain. Seperti ada kesenangan ketika membuat orang lain menderita.

Demikianlah kondisinya. Dengan berbagai macam kepentingan menggunakan lajur kiri, maka pengendara sepeda motor –yang memang berkeinginan memakai lajur kiri—harus semakin berhati-hati.

Maksud pembuat undang-undang pada dasarnya ingin meminimalisir berbagai kecelakaan. Menurunkan angka kecelakaan bertujuan akhir menggapai kehidupan yang bahagia dan sejahtera. Seharusnya semua bergerak mendampingi keinginan ini.

Kehidupan bahagia tidak mungkin dicapai dengan tiada saling pengertian. Harus ada kesepahaman bahwa jalan raya adalah milik bersama. Milik kita semua. Ironis sekali –dan ini akan membahayakan orang lain—ketika ada orang yang berfikir jalan raya adalah ruang hanya untuk membahagiakan dirinya sendiri. Mari tidak berfikir begitu, mari berbahagia bersama-sama, dengan sehat raga dan jiwa.

Leave a Comment