Hari ini saya teringat kepada seorang muazzin, yang sudah berpulang ketika saya pulang kampung. Waktu itu, saya kuliah, tinggal di tempat yang dekat dengan muazzin ini. Namanya Tukimin. Kami sering memanggilnya dengan Pak Min saja. Usianya sudah tidak muda. Sudah berumur. Orangnya tidak tinggi. Sangat familiar. Ramah dengan siapa saja. Waktu itu, kakinya sering bermasalah. Sepertinya ada sesuatu penyakit yang mendera. Pernah suatu kali saya tanya apa yang sedang dialami, menurutnya penyakit biasa, dan ia telah berobat menurut kemampuannya. Pengurus masjid secara khusus sudah meminta untuk memberi pengobatan khusus, namun ia menolak, dengan alasan sudah diobati sendiri. Saya mendapat kabar, sejumlah jamaah yang berpendapatan lebih, sudah mengajak pula untuk mengobati. Jawabannya sangat sederhana, bahwa penyakit yang diderita bukanlah sesuatu yang serius.
Saya membayangkan ia sakit kaki, kalau tidak asam urat mungkin rematik. Cara beliau berjalan, tampak seperti orang yang menderita salah satu itu. Lantas mengapa tidak diobati? Terutama asam urat, rasanya sudah sulit dibersihkan. Ia bisa dipantang dengan menjaga makanan yang dikonsumsi. Ketika seseorang yang sudah terkena penyakit ini, lalu makan sesuatu yang banyak mengandung purin, maka segera akan memancing. Mungkin alasan ini yang menyebabkan ia mengaku penyakit sederhana, sesuatu yang sulit untuk dihilangkan.
Dengan kemampuan demikian pula, setiap hari belian azan dan membersihkan masjid. Suaranya sangat khas terdengar ketika azan. Bahkan istri saya yang belum hafal wajahnya, karena mungkin kami secara bersama sudah pernah ketemu beliau, tetapi tidak diingat. Suara khas ini pula yang membuat kami berdua tersentak. Pasalnya, ketika pulang suatu waktu ke kampung, saat sedang menempuh kuliah, Tukimin salah satu yang saya pribadi minta permisi.
Waktu itu di kampung selama empat minggu di sana. Ketika sejumlah shalat jamaah saya tidak melihatnya seperti biasa, atau mendengar suaranya yang sangat khas itu, saya pada awalnya berpikir mungkin ia sedang ada keperluan ke suatu tempat. Hingga suatu magrib, saya bertanya kepada seorang tenaga kebersihan kelurahan. Ia melihat saya serius. Katanya: maaf pak, saya kira bapak sudah tahu. Sepulang dari masjid magrib itu, ia lalu menunjuk saya tempat Pak Min beristirahat terakhir. Sebuah bangku dari selembar papan. Ia seperti kelelahan lalu menyenderkan tubuhnya di sana, hingga beberapa saat ia sudah tiada.
Saya tersentak. Posisinya sebagai muazzin, juga sering menyampaikan berbagai kabar lain, khususnya kepada saya pribadi. Informasi yang terkait dengan kegiatan kampung, sering disampaikan kepada saya walau tidak saya minta. Dalam hari saya, barangkali ia sadar saya sedang pendidikan, dengan demikian sering tidak berada di kampung. Sejumlah hal bisa jadi saya tidak mengetahui. Alasan inilah barangkali yang menyebabkan ia secara khusus banyak menyampaikan kabar kepada saya.
Sebagai seorang muazzin, saya takjub. Magrib itu saya menunduk. Muazzin adalah orang yang menyerukan azan. Pengumandang. Ketika menyeru orang-orang untuk datang ke masjid, sebenarnya muazzin adalah penyambung lidah untuk membantu orang-orang yang akan shalat jamaah untuk segera merapat ke masjid. Orang yang memperdengarkan panggilan Allah kepada banyak orang. Maka posisi orang yang melakukan tugas ini sungguh sangat mulia. Tidak ada bandingannya.
Ia dipanggil ketika dalam suasana hari-hari masih bertugas sebagai muazzin. Memang ia berpulang bukan di tempat ia azan. Namun ia masih muazzin. Dengan posisi ini, saya berharap beliau akan mendapat akhir yang indah sebagaimana dijanjikan bagi orang-orang yang mengumandangkan panggilan Allah. Amin.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.