Mengunjungi yang Berduka

Ada dua hal yang sering terlihat di depan mata, adalah apa yang terasa dan apa yang terungkap. Termasuk dalam kesempatan mengunjungi orang yang sedang mendapatkan musibah dengan bencana. Mengapa orang tidak bisa menahan diri untuk …

Ada dua hal yang sering terlihat di depan mata, adalah apa yang terasa dan apa yang terungkap. Termasuk dalam kesempatan mengunjungi orang yang sedang mendapatkan musibah dengan bencana. Mengapa orang tidak bisa menahan diri untuk tidak mengunjungi? Tentu ada soal rasa di satu sisi, ada soal ungkap di sisi yang lain.

Dalam sebuah bencana, berbagai perkembangan bisa didapat dari komunikasi dengan orang di daerah tersebut. Apapun bisa dikirim dengan alat komunikasi yang semakin canggih. Tidak puas dengan kiriman foto, dalam sekejap kita bisa minta dikirim video. Orang yang berada di daerah bencana pun, dalam sekejap memberitahu keluarganya yang kebetulan sedang tidak berada di sana. Tujuan utama sebenarnya sederhana, memberitahukan kondisi dari tangan pertama tentang keadaan kampung dan keluarga. Pemberitahuan semacam ini tidak bisa berlapis. Ketika sudah berlapis, sudah lain cerita. Kejadian sejengkal, bisa jadi sehasta, begitu kira-kira orang tua kita menyebutnya. Maka dengan memberitahukan langsung, penerima pesan juga tidak lagi menduga-duga, karena sudah tahu yang terjadi sebenarnya.

Walau sudah tahu kondisi, kita sebagai manusia juga tidak bisa menahan diri. Ada perasaan tertentu yang berkecamuk. Maka pilihannya adalah mengunjungi. Dengan kondisi keuangan yang bisa saja terbatas, pilihan kadangkala sulit. Namun pilihan ini, setidaknya, bagi mereka yang mengunjungi akan membuat terang-benderang antara yang terasa dengan yang terungkap. Begitu sampai di lokasi, mengunjungi sejumlah lokasi adalah pilihan utama. Orang-orang yang berada pada kawasan yang parah, dikunjungi banyak orang, dengan tujuan yang beragam pula. Ada yang membawa bantuan, sekedar mengunjungi, atau malah selfie –suatu tren baru dari masyarakat yang terkesan meninggalkan sensivitas nurani. Semua tujuan bisa termasuk manusiawi. Bahkan betapa banyak orang yang ingin memberi rasa empati dan simpati, tanpa membawa bantuan apa-apa, juga harus dianggap sebagai sebuah hal yang luar biasa. Tidak sederhana orang datang memberi semangat kepada mereka yang masih tinggal. Dengan demikian, semua tidak bisa hanya diukur dengan materi. Ketika orang-orang beranggapan bahwa datang ke suatu lokasi bencana hanya membawa materi, maka sebagai manusia sedang berada pada posisi kalah. Dalam masyarakat lokal kita, mengunjungi orang yang terkena musibah sangat penting, terkait dengan membawa semangat kembali bagi mereka agar tabah dan kuat menghadapi kehidupan selanjutnya.

Apa yang terjadi? Orang yang merasakan sesungguhnya sering tidak bisa menceritakan apa-apa. Mereka yang biasa-biasa saja, justru lebih fasih dalam bercerita. Itu juga sangat manusiawi. Yang tidak manusiawi jika orang yang terkena bencana justru lebih banyak merasakan kemudahan dibandingkan mereka yang biasa-biasa saja. Tipikal ini yang harus berubah. Orang yang datang ke lokasi bencana apapun, jangan sampai menjadi beban bagi masyarakat yang merasakan bencana. Justru orang yang datang, seyogianya memberikan banyak kemudahan, agar mereka yang menjadi korban tidak berkesulitan dalam menempuh hidupnya.

Sesulit apapun orang yang pulang, yang sangat penting harus diingat adalah tekad untuk memberi sebanyak mungkin kemudahan. Tidak sebaliknya. Mereka yang menggerakkan rekonstruksi dan rehabilitasi pun demikian. Bencana tidak menjadi sumber baru bagi siapa saja. Bencana sudah seyogianya menjadi tempat belajar bagi segenap manusia. Dengan bencana, masing-masing orang sudah bisa menggenapi kehidupannya yang paripurna. Entah harus kita katakan apa lagi ketika bencana tidak bisa bencana bahan pelajaran.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment