Peugah Lagee Buet

Suatu kali, saya membaca berita, Serambi Indonesia, tentang sejumlah 234 orang memilih mundur sebagai penerima manfaat dari Program Keluarga Harapan (PKH). Bahkan secara nasional, waktu itu, diberitakan ada 13.026 orang mundur dari PKH tersebut. Saat …

Suatu kali, saya membaca berita, Serambi Indonesia, tentang sejumlah 234 orang memilih mundur sebagai penerima manfaat dari Program Keluarga Harapan (PKH). Bahkan secara nasional, waktu itu, diberitakan ada 13.026 orang mundur dari PKH tersebut. Saat pertama membaca berita ini, ada perasaan bahagia di batin. Sesuatu yang paling berat kita laksanakan, ternyata pelan-pelan sudah mulai berlangsung dan berubah. Begitu pikir saya. Mengakui posisi diri sebagaimana adanya, adalah suatu hal yang mulia. Ada ungkapan Aceh yang penting menggambarkan keadaan ini, adalah “peugah lagee buet, pubuet lagee na” (sampaikan sebagaimana perbuatan, dan melakukan sesuatu sebagaimana adanya”.

Sengaja saya sebut “kita”, karena ada banyak orang yang semakin bergelimang dengan ketidakjujuran. Sulit sekali orang bisa menyampaikan apa adanya. Bahkan dalam lingkungan orang-orang pandai. Orang yang sudah punya rumah, namun masih meudahoh bantuan rumah. Tidak heran saat setelah bala bencana, ada orang pandai yang menerima bantuan lebih dari satu rumah –padahal disadari hal semacam itu mengurangi jatah orang lain untuk mendapatkan rumah. Selain itu, kasus lain, mereka yang menuntut ilmu, ada yang menerima beasiswa ganda. Kemana-mana bilang tidak punya apa-apa, padahal di rumah serba mewah.

Keadaan ini juga menghinggap sebagian golongan masyarakat atas, yang hidupnya bergantung dari proposal dan anggaran pemerintah. Mereka yang punya pangkat dan jabatan, sudah punya berbagai tunjangan, masih meurampot juga kanan-kiri. Ada yang main sulap anggaran. Ada yang main potong beasiswa mahasiswa. Main pet-pet dana aspirasi. Apakah kita tidak tahu bahwa itu tidak benar?

Atas berbagai kenyataan di atas, tentu saja membahagiakan sekali ketika mendengar ada yang mundur dari program bantuan yang sudah bukan haknya. Pilihan mundur itu dengan sendirinya akan memberikan kesempatan untuk orang-orang yang membutuhkan.

Tetapi benarkah begitu? Ternyata yang ironis dan menyesakkan dada, karena ternyata sebagian orang yang memilih mundur itu bukan karena mereka merasa sudah mampu –dengan demikian sudah tidak berhak menerima berbagai bantuan—melainkan karena malu di rumahnya ditempel stiker keluarga miskin. Jika pernyataan ini dibalik, bukankah seandainya tidak ditempel stiker, tidak ada orang mampu yang mundur dari penerima manfaat PKH?

Pada titik ini, ternyata orang juga pada akhirnya masih memiliki rasa malu. Sungguh kaidah kesopanan yang ternyata masih dirasakan oleh orang-orang –termasuk mereka yang sedang mengklaim sedang saangat membutuhkan bantuan. Tentu saja, zaman tidak mengubah perilaku yang diinginkan secara cepat. Namun zaman bisa membawa pengaruh ke hal-hal lain secara tidak terkontrol.

Leave a Comment