Komunikasi membutuhkan saling pengertian dua arah. Tidak mungkin satu arah. Orang-orang yang memakai tanda tertentu, harus dipahami oleh orang lain perihal kepentingan apa hal itu digunakan. Kegagalan memahami yang demikian, menyebabkan tanda itu tidak ada guna.
Ada hal lain yang terjadi. Walau sudah memahami tanda, namun tetap melakukan yang tidak sebagaimana tanda itu. Dalam perang, petugas medis tidak boleh diperangi. Beberapa hari yang lalu, tentara zionis Israel berkelamin perempuan, menembak tenaga medis yang juga berkelamin perempuan. Apakah mereka tidak tahu bahwa yang ditembak itu petugas medis? Mereka pasti tahu.
Pada posisi demikian, dunia seolah memberi tanda yang lain. Tidak segegap saat terjadi sebaliknya. Saat berhadapan dengan kasus demikian, lembaga-lembaga resmi juga seperti kambing congek yang tidak bisa berbuat apa-apa. Seperti peliharaan yang hanya bergerak ketika ada yang menyuruhnya.
Terserah bagaimana dunia memahami tanda. Saya ingin mengingatkan betapa tanda itu harus dipahami antara mereka yang memberi, dengan mereka yang menerima. Pada hal yang penting dan krusial, sangat berisiko jika pesan melalui tanda yang salah dibaca oleh penerimanya.
Hal tentang tanda ada dimana-mana. Imam shalat sekalipun berpotensi untuk lupa. Kata ungkapan, lupa itu memang ada dalam setiap manusia. Tidak terkecuali imam yang memimpin shalat. Namun di balik kemungkinan tersebut, ada tanda yang memungkinkan diberikan. Jika imam melakukan hal-hal yang lebih atau kurang, makmum di belakang bisa mengingatkannya.
Saya punya pengalaman di satu meunasah, saat tarawih, ada kelupaan imam mengenai rakaat. Imam mengira masih satu rakaat, sedangkan yang sebenarnya sudah dua rakaat. Ketika imam mau bangkit ke rakaat ketiga, di sinilah penting tanda yang diberikan makmum. Masalahnya adalah makmum yang berdiri di belakang imam tidak selalu orang yang mengerti persoalan.
Pengaturan khusus mengenai orang tertentu yang berdiri di belakang imam, memiliki arti khusus. Bukan suka-suka. Jadi jamaah seyogianya juga membuka ruang untuk tiga atau empat tempat di belakang imam tersebut untuk mereka yang memang mengerti dan memahami. Ketika terjadi kelupaan, bisa ada yang menegur dengan tanda tertentu. Masalahnya dalam satu tempat, tidak semua tersedia orang yang demikian. Bisa jadi tidak semua yang hadir dalam sebuah jamaah itu, memiliki pemahaman yang cukup mengenai ibadah tertentu.
Hal lain yang juga harus dipahami, adalah tanda yang digunakan untuk menegur imam hanya ucapan dan gerakan tertentu saja. Tidak boleh melakukan hal-hal yang di luar itu. Tidak semua tanda boleh digunakan. Hanya tanda tertentu yang sudah ditentukan dalam ibadah.
Dalam kehidupan yang lebih luas, tentang tanda ini juga memiliki wujud masing-masing. Ada dua hal lain yang memancing ingatan saya dalam menulis tentang ini. Pertama, status seorang senior saya, yang mengingatkan betapa orang tua kita dulu memberdayakan berbagai tanda dalam rangka melakukan internalisasi, sosialisasi, bahkan memberi berbagai kabar pada tingkat masyarakat sebuah tempat. Tanda ini dapat ditemui dalam berbagai wujud. Umumnya dalam masyarakat Aceh, tambo, beduk, atau apapun namanya –sejenis gendang, sangat memiliki multifungsi
Ketika suara belum bisa dibesarkan dengan bantuan teknologi seperti sekarang, maka peran pemberi tanda itu sangat penting sekali. Pengeras suara yang selama ini tidak hanya ada di masjid-masjid di kota, mushalla yang besar, atau tempat-tempat yang megah, melainkan ia sudah tersedia bahkan di langgar-langgar kecil. Sehingga apapun yang ingin disampaikan kepada masyarakat, tinggal ditekan tombol jalur arus, lalu tinggal disampaikan.
Tanda tidak berjalan sederhana bagi kita yang dari luar kawasan itu. Salah memberi tanda, akan memberi implikasi tertentu. Makanya pemberi tanda itu tidak boleh sembarangan. Tanda ada orang yang meninggal, tidak sama dengan tanda untuk bergotong royong. Tanda pada malam hari raya, juga lain lagi suaranya. Memberi tanda itu tidak semua orang menguasainya. Makanya ketika untuk gotong royong diberi ketukan tanda untuk orang meninggal, misalnya, kita bisa paham apa yang akan terjadi.
Kedua, ketika mendengar sirine, baik waktu mau berbuka maupun saat mulai berpuasa ketika fajar datang. Sirine itu sendiri sering saya dengar, namun ada ingatan khusus ketika di penginapan kemarin, saat sahur, saya mendengar ini. Ketika masih berada di penginapan hari terakhir di lapangan, saya mendengar sirine yang membuat saya terpancing untuk berpikir beberapa hal. Karena letak penginapan yang dekat dengan masjid agung dan mushalla, maka dua-dua suara pengajian dan sirine terdengar hingga ke sini. Kebetulan saya sempat shalat jamaah di dua tempat tersebut. Dari tempat penginapan sendiri, jelas bisa membedakan suara dari dua tempat, disebabkan dengan dasar lokasi yang berbeda.
Salah seorang teman waktu itu menanyakan –tepatnya mungkin menyatakan—bahwa ketika mendengar sirine, memang persis seperti pernyataan perang. Hal ini tidak salah. Ketika memasuki bulan ini, sejak awal sudah diingatkan Rasulullah bahwa setelah memenangi perang fisik yang besar waktu itu, masih ada perang besar lain yang dihadapi umat muslim, yakni perang terhadap hawa nafsu.
Saya teringat akan tanda dalam masyarakat kampung, yang kemudian berganti dengan bantuan teknologi, maka tanda ini menjadi penting dalam masyarakat tertentu, barangkali tidak begitu penting dalam masyarakat yang lain. Masyarakat yang merasa penting, karena berada dalam suasana yang sudah sulit menandai waktu sesuatu, sebagaimana orang tua kita dulu ketika datang zaman tertentu, ia hanya akan keluar rumah lalu menayaksikan tanda-tanda. Sedang masyarakat yang lain, mungkin tidak demikian. Terserah bagaimana kita memaknai tanda ini, yang jelas tanda-tanda juga merupakan ruang bagi belajar.
Kehidupan yang lebih luas menuntut kita memahami tanda dalam masyarakat. Tidak semua hal akan disampaikan dengan bahasa yang jelas dan tegas. Seyogianya orang-orang memahami berbagai hal yang ada dalam masyarakat, yang bertujuan untuk kebaikan dan kesejahteraan dalam kehidupan mereka.