Sudah beberapa kali saya tulis artikel terkait dengan bencana, pada kolom opini Harian Serambi Indonesia. Artikel “Menghitung Kerugian Bencana” (Serambi Indonesia, 2 November 2015), “Hukum Bencana dan Bencana Hukum” (Serambi Indonesia, 6-7 Maret 2018), dan “Gampong dan Bencana Sosial” (Serambi Indonesia, 26 Agustus 2017). Saya tidak tahu persis bagaimana respons publik terhadap artikel-artikel ini.
Setiap masuk kelas, saya berharap siapa pun lebih kritis dalam melihat masalah. Terkait dengan kebijakan dan bencana, saya sering menganjurkan mahasiswa tingkat sarjana, yang masuk mata kuliah Hukum dan Masyarakat, untuk sering-sering menggunakan cara berpikir sederhana. Jika ada kebijakan pemerintah atau pemerintah daerah yang memberi izin tambang atau pemanfaatan sumber daya alam, apa yang menjadi pertimbangan kebijakan tersebut?
Kita sering menyebutkan bahwa alasan utama adalah untuk kesejahteraan. Konstitusi kita menyebut dengan istilah kemakmuran rakyat. Melahirkan kebijakan, apalagi untuk urusan tambang yang menimbulkan resistensi lebih tinggi, biasanya rakyat menjadi ujung segala dalih. Pemanfaatan sumber daya alam atau memberi izin tambang, tidak lain dan tidak bukan, adalah untuk menghidupi dan meningkatkan kemakmuran rakyat itu. Tetapi benarkah demikian?
Saat terjadi sejumlah banjir bandang, saya sarankan mahasiswa untuk menggunakan hasil hitung kerugian lembaga formal. Biasanya setiap terjadi bencana, pemerintah atau pemerintah daerah akan mendapatkan angka-angka kerugian yang diderita. Angka inilah, silakan bandingkan dengan tingkat pemasukan bagi daerah, apakah sesuai atau tidak. Saya lebih banyak mendapatkan informasi tentang posisi yang tidak seimbang. Jumlah pemasukan jauh tertinggal di ujung bumi, dibandingkan dengan jumlah kerugian fisik yang diderita.
Sengaja saya sebut fisik, karena ada masalah psikis yang jarang bisa dihitung. Kerugian psikis hanya tertanam di batin dan biasanya akan disembunyikan dan diselesaikan sendiri oleh para korban.
Saya ingin mencontohkan kasus asap yang pernah mendera bangsa kita. Pemerintah dulu berusaha untuk menghitung-hitung kerugian dari bencana tersebut. Namun upaya menghitung-hitung ini belum dilakukan menyeluruh, dan hanya berhenti pada beberapa unsur saja. Khususnya pada apa yang terlihat dan terbentuk dari opini bencananya. Hal yang dihitung adalah jumlah korban, yang mencapai 600 orang sudah menderita gangguan pernafasan akut (ispa). Di samping itu, ada 10 orang yang sudah meninggal. Selain itu, dihitung dari jumlah hutan yang terbakar. Kementerian Sosial mengajukan pengganti kerugian yang nyata itu, dengan anggaran Rp 900 ribu perorang, dan membantu biaya Rp 15 juta untuk setiap korban yang meninggal. Hutan yang terbakar dikalkulasi sekitar Rp 1,3 triliun.
Dengan jumlah tersebut, terlihat kalkulasi-hitung yang menurut saya sangat sederhana. Hal ini antara lain: Pertama, jumlah orang yang menjadi korban tidak bisa disederhanakan dengan mereka yang terkena gangguan pernafasan, dalam hal ini diukur dengan jumlah yang berobat di pusat kesehatan masyarakat. Orang-orang yang menahan diri merasakan asap pekat, juga bagian dari korban. Orang-orang yang tidak secara langsung menderita gangguan pernafasan, namun berada dalam wilayah asap dan wilayah penyebaran asap, juga sebagai korban. Mereka yang merasakan langsung berada di sejumlah daerah yang memiliki titik api, sedangkan banyak yang terkapar yang berada di luar titik api.
Kedua, menghitung kerugian hutan tidak bisa dilakukan secara sederhana karena pada kenyataan, hutan terkait tidak hanya secara ekonomi, namun juga ekologis dan sosial-budaya. Tidak boleh dilupakan bahwa secara ekologis, hutan merupakan satu bagian penting ekosistem yang berkontribusi bagi aspek lain, misalnya udara sehat yang disebut sebagai nafas.
Bagi masyarakat tertentu yang hidupnya bergantung dari keberadaan hutan, tentunya hutan adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan mereka. Ketika hutan sudah tidak ada, maka itu sama artinya dengan “menghilangkan” masyarakat yang demikian.
Melihat kasus kebakaran sebagai penyebab asap, jelas sebagian besar disebabkan oleh kepentingan penggunaan lahan untuk kepentingan tertentu di luar kepentingan hutan. Penggunaan lahan semacam ini, berdasarkan konsesi yang diberikan pemerintah dengan mendapat sejumlah kompensasi, yang dalam pembangunan dinamakan dengan pendapatan. Lantas apakah lemahnya pengawasan yang menyebabkan semua bencana ini terjadi?
Saya mencoba menggunakan rumus lain tentang kerugian. Ketika terjadi asap, bisa setengah juta orang yang menderita secara langsung berupa gangguan pernafasan akut, dengan sekitar 45 juta orang secara tidak langsung merasakan dan terganggu dengan asap ini. Belum lagi beberapa negara merasakan eksesnya. Transportasi udara, juga secara langsung membatalkan banyak penerbangan. Konsekuensi dari hal ini adalah banyaknya penumpang yang tidak bisa terangkut. Semuanya bagian dari ekses asap. Ironisnya ada penumpang yang menerima dengan lapang dada, namun tidak sedikit juga, yang memaki-maki penerbangan. Padahal ia sadar, penentu kebijakan terbang atau tidak, adalah asap yang semakin berkabut dan membatasi jarak pandang.
Asap telah membuat banyak kerugian. Namun penanganan asap juga tidak bisa instan. Berbagai program ditawarkan untuk menanggulangi asap, padahal asap juga terus semakin pekat. Eksekutif dan legislatif semakin berkejar dengan waktu. Masing-masing sektor terlihat semakin sibuk, orang ke lapangan semakin banyak, namun asap juga terus berlangsung. Berita saling berlomba. Menyiarkan secara langsung tentang orang-orang yang terkapar dan menderita. Selebihnya, muncul pula anggota dewan yang berupaya untuk membentuk panitia khusus terkait asap. Mengapa harus memikirkan panitia khusus, jawabannya bisa beraneka ragam. Mungkin kebutuhan untuk jalan-jalan, atau jalan paling mudah saling menyalahkan. Padahal kesalahan eksekutif selalu menjadi tanggung jawabnya legislatif. Apa yang dilaksanakan oleh pemerintah, merupakan kewajiban anggota dewan untuk mengawasinya.
Masalahnya adalah kedua kekuatan negara ini, masing-masing juga tidak sepi dari masing-masing kepentingan. Belum lagi ada berbagai oknum di dalamnya yang bermain dan saling memetik untung di dalamnya. Di tengah berbagai kepentingan inilah, saling menyalahkan dapat menjadi jalan paling mudah.
Tulisan ini juga menjadi bagian bagaimana mudah menuduh orang lain. Ada banyak orang yang bekerja dan berkontribusi. Namun harus diingat, khusus untuk eksekutif dan legislatif, masing-masing memiliki tanggung jawab yang hampir sama. Ketika eksekutif gagal, harus ada introspeksi bahwa jangan-jangan legislatif tidak menjalankan tugas pengawasannya dengan baik. Selama ini mereka juga sibuk dengan tugas-tugas yang di luar tugasnya melakukan pengawasan. Sehingga menyebabkan eksekutif melakukan beberapa kesalahan atau mungkin kekeliruan–terutama terkait dengan kebakaran yang terjadi.
Belakangan ada hal lain yang menjadi kambing hitam baru, mengenai kearifan lokal. Ada satu penjelasan dalam undang-undang pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup, menguraikan harus memperhatikan kearifan lokal yang mengizinkan pembakaran hutan dalam membuka lahan. Tidak ada penjelasan secara konkret, dalam hutan apa dimungkinkan itu dilakukan, dan dalam hal bagaimana pembakaran boleh dilakukan. Penting untuk ditelusuri terutama dalam konteks sejarah hukumnya, terkait dengan dasar munculnya penjelasan pasal ini, sehingga untuk seterusnya, ia tidak menjadi satu alasan baru untuk menyembunyikan berbagai kepentingan yang sudah saling mengambil untung besar.