Mungkinkah seseorang yang berbuat baik itu disebabkan karena kepentingan tertentu? Bisa jadi. Betapa banyak orang menghabiskan uang besar untuk memperlihatkan kemampuan dirinya berbuat baik, dengan memberi sumbangan yang tidak seberapa. Bahkan harga untuk memperlihatkan itu, bisa empat atau lima kali dari sumbangan yang dikeluarkan.
Jangan lupa ada orang-orang yang menjual hartanya untuk membantu orang lain. Orang semacam ini tidak butuh publikasi, atau naik dalam berita. Ada perasaan trenyuh melihat orang lain menderita, bahkan yang lebih dahsyat, orang yang justru semakin nyaman pada posisi menderita dan melihat orang lain yang bahagia.
Bukankah itu kontradiktif? Namun bukankah keduanya memang terjadi? Ada orang yang ikhlas berbuat baik, ada yang tidak dan hanya mementingkan kepentingan individu. Dalam semua lini kehidupan, pola semacam ini ada. Jangan klaim bahwa hanya dalam dunia politik, ketidakikhlasan itu dominan. Belum tentu. Ingatlah ada sebagian (kecil) mereka yang berjuang benar-benar ingin meningkatkan kualitas hidup rakyat.
Setiap momentum lima tahun, semua orang bisa melihat bagaimana berubah peran itu kentara. Semua orang berpotensi berpura-pura, saat ingin mendapatkan sesuatu, tetapi melakukan sebaliknya saat itu didapat. Pura-pura melakukan sesuatu dengan kerja keras, namun jadi broker proyek saat semua sudah didapat.
Dalam berbagai belahan dunia, fenomena ini juga terlihat. Tidak hanya di negara tertentu saja. Bahkan negara yang diklaim sangat demokratis sekalipun, tidak semua orang mampu berbuat ikhlas.
Saya teringat istilah, “tidak ada makan siang gratis”. Saya tetap merasa bahwa selalu ada orang-orang yang melakukan sesuatu walau tidak berharap ada makan gratis. Orang-orang yang ikhlas dan baik itulah yang harus dicari dan diberikan kepercayaan untuk mengurusi publik. Bukan orang-orang yang hanya berperilaku baik ketika diliput banyak televisi.
Sekali lagi fenomena ini ada di mana-mana dan banyak tempat. Orang yang kita duga melakukan sesuatu dengan baik, tiba-tiba mengungkit-ngungkit apa yang telah dilakukan. Demikian juga negara yang membantu banyak negara lain dengan utang atau hibah, tetapi bisa tidak tahan diri untuk tidak menyebut jasa yang telah dilakukannya atas nama kemanusiaan.
Terus-terang ingatan seperti yang yang pernah saya ingat. Suatu hari, entah mengapa, tiba-tiba saya ingin menulis tentang Aung San Suu Kyi. Tokoh yang mungkin banyak orang kagum atas kesabarannya menghadapi tekanan militer di negaranya, Myanmar. Kesabaran ini sebenarnya juga bukan tanpa dukungan. Banyak orang atau pihak di negara lain yang berkeinginan atau berkepentingan melihat negara Myanmar tidak seperti masa lalu. Orang di negara lain berkepentingan untuk melihat Myanmar yang terbuka dan sama seperti kehidupan di banyak negara. Dengan konsep negara yang terbuka, tentu bisa menyalurkan berbagai kepentingan menjadi lebih jauh lagi.
Kini harapan atau kehendak itu digantungkan pada tokoh ini. Posisi tokoh pejuang yang dari awal memperlihatkan keberdayaan untuk melawan rezim. Jelaslah bahwa perlawanan apapun, pada dasarnya ia sedang tidak berjuang sendiri. Ia sebenarnya sedang berjuang bersama-sama. Kondisi ini tentu dipahami oleh mereka yang aktif dalam gerakan. Mereka yang melawan, memiliki jaringan di banyak tempat, tidak berarti mereka sedang berjuang sendiri. Ada yang pamrih, dan ada yang tanpa pamrih.
Dalam kasus Suu Kyi, ketika ia melakukan sesuatu, ada tujuan ketika mengungkapkan berbagai masalah yang dihadapi di negaranya. Dalam kondisi ini, menurut saya Aung San Suu Kyi bukan orang biasa. Ia di satu sisi mampu bertahan di tengah kondisi Myanmar yang demikian. Di sisi lain, banyaknya simpati tidak bisa dianggap sederhana yang memberinya kekuatan untuk bertahan di sana. Makanya ketika orang-orang mengandrunginya, ada berbagai alasan. Tidak saja karena alasan bahwa dia sedikit orang yang berhasil melawan kekuasaan negaranya, melainkan juga karena barisan pendukungnya, yang berarti menyatakan dukungan atau perasaan simpati, selalu karena arus rombongan tadi.
Begitulah. Ketika pagi ini keinginan menulis ini, ada semangat saya melakukannya. Sejak dulu saya pernah membuat status, walau waktu itu ia baru saja menerima nobel perdamaian, saya sudah merasa tokoh ini sudah tidak luar biasa. Dalam status itu, saya menggugat bahwa ia juga tidak berkata apa-apa ketika sejumlah orang minoritas di negaranya dikejar-kejar. Dalam kondisi ketika ia belum berkuasa saja sudah begitu, apalagi sekarang ketika kekuatan mereka sudah mendapatkan angin segar dan berada di puncak.
Ada tokoh muda lain yang menarik untuk dilihat. Penerima nobel perdamaian yang boleh dibilang masih anak-anak, namun berkampanye untuk anak-anak di seluruh dunia. ia datang ke banyak tempat, ke mereka yang bermayoritas atau di kawasan yang berminoritas.
Istilah mayoritas dan minoritas pun seringkali dijadikan alat kampanye paling jitu, dan tak jarang digunakan untuk menarik perhatian banyak mata. Namun kadangkala, untuk minoritas yang jelas-jelas selama bertahun-tahun diperlakukan tidak sebagai manusia, sekaliber tokoh penerima nobel perdamaian pun tidak bisa menerimanya.
Itulah yang terjadi bertahun-tahun saat orang yang diharapkan mengambil peran, ternyata tidak melakukan apa-apa. Orang penting namun melupakan mereka yang dianggap tidak penting. Jadi membicarakan apa yang terjadi, sudah berlalu begitu saja. Sudah cukup. Saya tidak ingin berkomentar lebih jauh.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.