Ikhlas

Apa yang menyebabkan orang saling sikat-sikut dalam mengejar pendapatan? Ada banyak hal yang menjadi penyebab. Yang jelas kebutuhan semakin sulit dipenuhi, dengan banyak tantangan yang dihadapi. Ketika berhenti di sebuah persimpangan yang ada lampu lalu …

Apa yang menyebabkan orang saling sikat-sikut dalam mengejar pendapatan? Ada banyak hal yang menjadi penyebab. Yang jelas kebutuhan semakin sulit dipenuhi, dengan banyak tantangan yang dihadapi.

Ketika berhenti di sebuah persimpangan yang ada lampu lalu lintas, saya membaca pesan yang sangat penting dan menarik. Isi pesannya adalah: “Percayalah bahwa rezeki itu sudah ada yang mengaturnya”. Penting karena pesan ini mengandung rasa percaya. Menarik, karena ia ditampilkan di persimpangan, di mana setiap pagi orang-orang seperti berlomba untuk mencapai lokasi kerja masing-masing.

Maksud sampai tepat waktu ke tempat kerja, bisa bermacam-macam varian. Ada yang hanya karena ingin mengejar absensi, supaya tidak ada honor yang diterima setiap bulan yang terpotong. Orang yang tipe demikia, setelah absensi tepat waktu, lalu keluar lagi, sambil menunggu waktu absensi selanjutnya. Tidak ada beban untuk keluar kantor, walau suatu waktu nanti, akan ada orang yang membutuhkan pelayanan, namun kita yang bertugas di bidang bersangkutan tidak sedang di kantor. Namun tidak adanya di kantor bukan karena kepentingan tugas yang lain, melainkan duduk bercengkerama menghabiskan waktu di tempat yang seharusnya kita tidak di sana.

Di samping itu ada tipe orang lain yang ingin masuk tepat waktu benar-benar karena ingin mendapatkan kehalalan apa yang ia dapat. Sesuatu hak yang diterima pada setiap awal bulan, diharapkan akan halal dimakan oleh diri dan keluarganya. Semua yang didapat diupayakan agar bisa dipertanggungjawabkan secara utuh.

Tidak bermain-main dengan waktu karena setiap detik yang berlalu dan sudah dibayar, mestilah dikaitkan dengan halal-tidaknya hak tersebut digunakan. Pilihan ini yang sangat sedikit orang bisa melakukannya demikian. Orang yang begini, masuk-tidaknya kantor sama sekali tidak ditentukan oleh ada atau tidaknya absensi –baik manual atau elektronik, melainkan karena ia merasa bahwa memang sudah kewajibannya datang ke kantor dan melayani banyak orang.

Pada taraf yang lebih tinggi, berangkat tepat waktu dan bertugas dengan baik, tidak semata karena memang dibayar dengan sejumlah hak untuk itu, melainkan disokong oleh adanya perasaan bahagian ketika bisa melayani semakin banyak orang.

Hal yang disebut terakhir inilah yang seyogianya teringat oleh kita, dari pesan yang saya baca di persimpangan itu. Harus ada keseyogiaan bahwa melayani banyak orang itu tidak lagi sekedar hanya ingin menunaikan kewajiban sebatas dengan hak yang kita terima. Lebih dari itu. Bahwa pelayanan yang kita lakukan seyogianya juga memberi rasa bahagia kepada sebanyak mungkin orang. Mereka yang mendapat pelayanan kita, ketika pulang ke rumah dan berkumpul kembali dengan keluarganya, akan merasa nyaman dan bahagia. Tidak malah membawa pulang beban ke rumahnya masing-masing.

Tekad inilah yang harus ada cita-cita dari generasi muda untuk membangunnya secara utuh. Cita-cita mulia yang menyasar semakin banyak orang untuk dilayani dan mereka merasakan bahagia seutuhnya. Tidak sulit untuk mencapai tahap ini –walau juga bukan mudah. Dengan hati yang ikhlas, ia akan mudah dicapai.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment