Iklan rokok, dari dulu hingga sekarang, modusnya tidak berubah. Bedanya jika dulu rokok bisa ditampilkan dengan terang dalam iklan-iklan, sedangkan sekarang sudah tidak boleh. Sedangkan materinya, terkait dengan bagaimana perusahaan rokok menarik sebanyak mungkin perokok, sepertinya tidak berubah.
Saya melihat kembali satu foto lama dari kota saya. Satu foto mengabadikan baliho yang berada di atas satu toko depan masjid raya. Gambar dalam baliho itu, seorang perempuan dengan bungkusan dan batangan rokok. Memang tidak ada keharusan perokok itu mesti jenis kelamin tertentu. Tapi menggunakan perempuan dalam iklan-iklan, merupakan sesuatu yang nyata.
Sepertinya ada motivasi yang belum berubah. Dengan tingkat strata dan usia perokok juga nyaris biasa. Perusahaan berharap sebanyak mungkin perokok. Hukum ekonominya begitu. Semakin banyak laku rokok, semakin banyak meneguk untung. Persetan dengan munculnya masalah lain dalam masyarakat, misalnya masalah Kesehatan. Maka sekarang jumlah pendudukan lebih banyak diusia produktif, usia ini kemudian disasar untuk para perusahaan apa pun. Tak terkecuali perusahaan rokok.
Masalahanya pendekatan untuk memperkenalkan dan menarik minat untuk merokok dilakukan secara berbeda. Menggunakan perempuan, misalnya dalam iklan-iklan, sepertinya terkait dengan usaha menarik sebanyak mungkin konsumen dari usia tertentu. Pada anak-anak muda, mengaitkan perokok dengan keadaan tertentu, selalu menarik untuk ditawarkan.
Saat seseorang sudah membayangkan rokok denga napa yang diiklankan, akan berpengaruh bagaimana seseorang menghormati orang lain yang tidak merokok. Sebagian perokok seolah-olah merasa tidak ada masalah apapun dengan orang lain ketika sedang merokok. Termasuk menghormati orang lain yang menikmati asap rokoknya. Tidak semua orang berpikir merokok itu akan berdampak buruk bagi orang lain yang tidak merokok.
Orang-orang yang sudah dihinggapi rasa bangga terhadap rokok dan merokok, berkemungkinan ia akan berpikir negatif untuk orang-orang yang ingin bersih dari paparan asap rokok. Orang seperti ini akan tidak senang jika dikoreksi dan diingatkan. Apalagi jika di tempat-tempat umum yang para perokok merasa itu juga bagian dari haknya.
Pada posisi yang saya sebut terakhir, tidak mungkin kita tidak membicarakan soal akhlak. Soal etika. Siapa pun kita, tetap membutuhkan batasan dalam menghormati dan menghargai orang lain. Kita akan berada di titik nadir peradaban saat kita tidak melihat orang lain di sekeliling kita sebagai bagian penting dalam kehidupan manusia. Rokok itu bisa terkait dengan bagaimana peradaban kita ditata dengan baik.
Kita harus mengingat ada hak orang lain yang harus dihormati. Hak orang lain untuk menikmati suasana yang bersih dan nyaman, tidak lebih rendah dari kepentingan para perokok yang setiap duduk di tempat umum, mengambil batangan rokok, lalu menyulutnya dan menebarkan asap dengan bebas.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.