Kekerasan dan pelecehan seksual oleh orang-orang dekat, semakin mengkhawatirkan. Kasus kekerasan dan pelecehan seksual semacam ini, sudah banyak terjadi di Aceh (Serambi, 3-6-8/1/2021; 5-7-9-28/2/2021; 5-19/3/2021; 7/4/2021; 8/4/2021). Dalam dua minggu terakhir, putusan hakim terkait dugaan seksual, juga dipermasalahkan. Sejumlah opini merespons hal ini, antara lain Muhammad Salda (Serambi, 29/5/2021). Saya hanya mau memberi catatan tentang realitas kasus yang semakin meningkat.
Ada catatan khusus yang harus diberikan tentang Aceh terkait kondisi ini. Pertama, Aceh memiliki hukum yang khusus dalam bentuk qanun yang masih terus diperdebatkan. Dalam konteks hukum, perdebatan ini wajar terjadi. Sebuah teks norma sudah diperdebatkan sejak ia disusun dan dibentuk. Pada tataran praktis, teks-teks norma yang ada kemudian sering ditafsirkan secara berbeda pula oleh berbagai pihak. Maka implementasi dari sebuah teks norma, jangan-jangan berangkat dari perbedaan cara membaca teks dan menafsir?
Kedua, posisi Aceh yang berstatus otonomi khusus dalam menjalankan (formalisasi) syariat Islam, kerap dipertaruhkan dengan kasus-kasus yang ganjil. Belum lagi ada aroma proyek dalam pelaksanaan syariat Islam. Proyek ini tidak berjalan dengan baik ketika program dan anggaran tidak konsisten. Semua pihak, termasuk yang terpenting mereka yang bertanggung jawab dalam kebijakan dan keputusan, harus mengingat pertaruhan ini. Jangan sampai tidak maksimal menangangi berbagai hal yang ganjil terkait syariat, justru menjadi kontraproduktif, memberi kesan tidak baik, bahkan menjadi amunisi untuk memojokkan syariat Islam terus-menerus.
Ketiga, posisi penegakan hukum yang berelasi dengan kebijakan sosial lainnya, masih harus dipertanyakan. Untuk kasus kejahatan dan pelanggaran, seyogianya dalam proses perbaikan harus dibarengi dengan kebijakan sosial yang selaras. Kondisi ini sepertinya masih berjalan sendiri-sendiri, dan jika ada program persis seperti “pemadam kebakaran”.
Semakin permisif
Tiga catatan khusus tersebut untuk menekankan agar pengambil kebijakan tidak permisif dan bergerak ketika ada kasus. Apalagi biasanya kasus yang mengemuka itu seperti gunung es dalam laut, yang baru tampak hanya permukaan saja.
Ada ketakutan saya bahwa realitas sosial kita mungkin juga semakin permisif –dalam berbagai bidang kehidupan. Bahkan kita bisa jadi tidak mengetahui masalah apa yang terjadi terhadap orang-orang yang ada di sekitar rumah kita. Lebih ironis, jika tidak tahu terhadap orang-orang yang 24 jam ada di dalam rumah kita.
Secara pribadi saya mendengar sebuah kasus sangat miris dari seorang relawan. Seorang gadis diperkosa oleh abang kandungnya, namun seisi rumah tidak tahu apa yang terjadi. Gadis ini berulang-ulang menceritakan kepada keluarga dekatnya yang lain, namun tidak percaya. Masalahnya adalah ada ancaman lain yang justru lebih dahsyat terhadap korban. Biasanya keluarga akan berusaha keras untuk menutupi rasa malu, sehingga semuanya ditutup rapat-rapat. Kasus yang muncul, walau nantinya dianggap sebagai kenyataan, akan dianggap sebagai aib.
Permisif ini menjalar kemana-mana. Kita tidak mampu bersuara untuk menertibkan anak-anak kecil kita yang terlanjur intim dengan hal-hal yang lebih dewasa dari usianya dan dengan mudah bisa diakses dengan gawai. Anak-anak bisa menonton sesuatu yang ganjil secara bersama-sama, namun jika kita ada di sekitar itu, mungkin kita juga akan memilih diam saja.
Pilihan terakhir ini paling aman, dibandingkan dipersalahkan. Memarahi anak yang berperilaku buruk secara tidak tepat, akan berimplikasi pada hukum jika ada yang mempermasalahkan. Belum lagi dalam ruang sosial yang lebih luas, sejumlah kasus “pageue gampong” ada yang mempermasalahkan. Mereka yang indehoi di lingkungan sosial tertentu, memandang memiliki hak individual yang tanpa batas. Sehingga jika sedang bermesum –atau bahkan lebih dari itu, lalu digrebek oleh warga, ada yang permasalahkan. Ironisnya ada kasus yang ternyata laporan ini ditindaklanjuti oleh penegak hukum.
Saya tinggal di dekat dua jalur jalan yang lumayan sepi. Ketika pulang ke rumah saat malam, melihat bagaimana perilaku anak muda berpasang-pasang di atas kendaraan yang sedang berjalan. Kondisi ini juga tidak ada yang berani menegur karena salah-salah pihak yang ditegur itu ternyata “hantu blau” yang tidak bisa terima dengan baik.
Mati Rasa
Dengan kasus yang semakin terbuka, bagi saya terbetik satu pertanyaan batin yang sangat penting. Bagaimana bisa, misalnya seorang ayah atau abang bisa bernafsu pada anak atau adiknya? Bagaimana mungkin seorang ibu, memiliki nafsu yang sama dengan anaknya? Namun hal ini terjadi dan bukan mimpi. Bukan pula terjadi sekali. Hal semacam ini sudah terjadi berulang-ulang di nanggroe kita.
Sekedar catatan bahwa kebutuhan seks manusia tidak bisa dihindari. Kemudian proses pelembagaan untuk menampung kebutuhan ini, dilaksanakan baik dengan agama, atau ada sejumlah pihak melalui administrasi. Penyaluran seksual seharusnya dilakukan terhadap orang-orang yang memang secara rasa rasional terjadi. Dalam kamus manusia, ketertarikan terhadap lawan jenis adalah sunnatullah. Proses untuk pelegalan itu tersedia jalan tersendiri.
Fenomena ketertarikan terhadap orang-orang yang memiliki hubungan darah, jangan-jangan sebagai bentuk sudah membesarnya realitas mati rasa pada manusia. Mati rasa ini tidak hanya terkait dengan kasus kekerasan dan pelecehan seksual. Lebih jauh sejumlah kasus kekerasan terhadap orang tua yang dilakukan anak hanya gara-gara hal sepele (misalnya kasus di salah satu kabupaten, anak mengasari ibunya karena tidak mampu memberikan uang), atau kekerasan orang tua terhadap anak (misalnya Serambi, 25-26/3/2021)
Ini problem serius yang harus cepat direspons secara menyeluruh dan proses penanganan dan penanggulangan secara kompleks.
Tawaran dan catatan
Saat menulis opini ini, saya baru saja membaca satu surat Pemerintah Aceh kepada sejumlah dinas terkait dengan menindaklanjuti permintaan pihak legislatif terkait revisi Qanun Jinayat. Saya tidak dalam kapasitas untuk mengomentari bagaimana substansinya. Jika qanun itu dianggap lemah, termasuk dalam penafsiran terkait kasus, menjadi penting mendapat perhatian. Pertanyaan yang muncul di benak saya, antara lain bukankah dulu legislatiflah yang dominan menentukan substansi qanun tersebut? Dalam ruang-ruang sidang, terkesan menutup mata sejumlah masukan yang diberikan. Bahkan pada era Gubernur Irwandi, qanun ini sendiri tidak mau disetujui oleh legislatif?
Tawaran saya, berusahalah untuk melihat hal tertentu secara untuh, komprehensif, kompleks, dan tidak terkotak-kotak. Masalah yang muncul harus dilihat dalam ruang yang luas sehingga dalam melihat hal yang sudah tidak selaras dengan realitas sosial, akan diperbaiki sesuai dengan kebutuhan masyarakat di daerah yang bersangkutan.
Kita harus belajar untuk memberi respons secara baik untuk semua masalah yang muncul. Respons ini diberikan bukan karena ada tekanan atau apapun. Realitas sosial harus menjadi catatan penting dalam merespons ini. Pemgambil kebijakan harus membuka mata dan telinga lebih lebar untuk mendapatkan realitas sosial dengan baik.
Kasus kekerasan dan pelecahan seksual sudah tidak normal. Apakah tidak perlu pengambil kebijakan mendudukkan para intelektual untuk menelusuri secara keilmuan, mengapa hal ini terjadi di wilayah kita. Bisa jadi kita ragu terhadap sebagian ilmuan yang lebih mementingkan kerja-kerja praktis, namun saya yakin ilmuan yang berkualitas dengan kapasitas mental yang baik masih tersedia.
Kita jangan membiarkan kondisi mati rasa ini makin meluas. Kita harus cepat bergerak sebelum mati rasa ini menjadi realitas yang sudah tidak dapat ditolak. Mudah-mudahan tidak. (st_aceh@yahoo.co.id)
Serambi Indonesia, 3 Juni 2021.
https://aceh.tribunnews.com/2021/06/03/era-mati-rasa