Manusia sudah mulai berhitung-hitung. Orang dagang bilang, semacam hitung-hitungan. Mengerjakan sedikit, berharap dapat kembali dalam jumlah banyak. Tidak menunggu ketika waktunya tiba, melainkan dengan cara lain berharap akan tergantikan dengan segera. Kompensasi itu tidak selalu lewat materi. Tidak jarang, orang hanya melakukan sesuatu berharap jiwa duniawanya terpuaskan.
Apa yang diharapkan orang ketika menampilkan sesuatu yang seharusnya tidak untuk diobral? Barangkali hanya komentar kecil, semacam betapa kusyuknya, dan komentar-komentar semacamnya. Sebagian yang lain, hanya butuh diklik tanda suka. Hanya untuk itu.
Entah pernah dibayangkan betapa harga yang harus dikorbankan untuk urusan itu? Mungkin tidak. Bertahun-tahun orang akan terganggu mentalnya gara-gara nafsu yang demikian. Sulit sekali untuk hidup lurus, dalam konteks melakukan ibadah murni hanya untuk yang menciptakan kita.
Apakah sudah tiba masanya apa yang digambarkan Rasul 14 abad yang lalu? Ada sebagian orang yang ketika melaksanakan ibadah, tersimpan berbagai kepentingan lain yang sifatnya duniawi mengiringi pelaksanaan ibadahnya. Orang memang melakukan shalat, ibadah puasa, zakat, dan melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, hanya untuk menampilkan saja. Apa yang dilakukan hanya untuk mendapatkan keuntungan duniawi yang mungkin dianggap lebih besar. Sebagian orang yang demikian, dengan mudah ditemui di sekitar kita. Dengan berbagai wajah dan penampilannya. Padahal idealnya tidak boleh demikian. Melaksanakan ibadah semata-mata karena Allah akan mendapatkan ganjaran setimpal. Bukan sebaliknya, yang akan membawa kerugian bagi yang bersangkutan.
Pada masa keberangkatan jamaah calon haji, banyak sekali temuan barang yang dibawa untuk dijual kembali di tanah suci. Mulai dari barang yang sederhana, hingga barang yang rumit. Barang sederhana, mungkin secorak barang yang rata-rata orang akan membutuhkan. Bumbu masak, misalnya. Kebutuhan ini dirasakan oleh semua orang, namun bagi mereka yang beribadah, kebutuhan ini bisa dinomor-sekiankan. Orang yang ingin beribadah, tidak akan peduli dengan hal semacam ini, karena makanan bisa dijangkau di banyak tempat.
Pada lapis selanjutnya, ada barang lain yang sesungguhnya tidak boleh sembarangan dibawa, yakni rokok, dan semacamnya. Rokok memiliki status hukum yang diperdebatkan. Sebagian mengatakan tidak boleh merokok, sebagian lagi menganggap masih berbeda pendapat –dan ada pendapat yang membolehkan. Saya kurang tahu persis bagaimana dengan hukum di Arab Saudi. Apakah diizinkan merokok? Namun dilarang atau tidak, orang membawa rokok, terutama mereka yang mengaku tidak bisa menahan diri dari merokok. Dari segi syarat negara, jumlah rokok yang boleh dibawa terbatas, dengan alasan cukai. Barang semacam itu, yang boleh dibawa ke luar negeri, ada batasnya. Tidak boleh sekehendak hati.
Di luar rokok, ada barang yang mungkin pada lapis sekian. Jamu atau benda lainnya semisal batu akik. Bukankah benda semacam ini kurang dibutuhkan? Tentu ada kepentingan lain membawanya. Salah satu adalah ingin mendapatkan kompensasi tertentu yang dengan kompensasi tersebut, mungkin ingin membawa barang sebaliknya. Jual beli ini sendiri aneh, karena kenyataannya, berbagai barang dari negeri Arab dengan mudah didapat di dalam negeri, sekarang ini.
Di luar ibadah tersebut, ternyata fenomena senada tampak juga dalam ibadah serupa yang lain. Ketika orang shalat masih sempat meminta orang lain untuk didokumentasikan. Bayangkan orang beribadah kemudian difoto, lalu dengan foto itu diedarkan ke mana-mana. Bukankah itu juga sebagai bentuk kompensasi duniawi, yang implikasi terhadap ibadah juga ada. Namun siapa yang peduli. Ketika pada kondisi demikian, pada dasarnya kita hanya sedang bermain-main saja. Sudah bisa dibayangkan apa balasan yang layak diterima oleh kita yang beribadah hanya untuk bermain-main saja.